Page 114 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 114
Orang Bugis tidak hanya sekedar mengadaptasikan diri terhadap
lingkungan, mereka bahkan mampu memberi warna tersendiri
terhadap lingkungan yang baru. Sementara, kecenderungan mereka
yang tampaknya saling berlawanan, berpandangan hierarkis sekaligus
egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus berkompromi,
menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider terhadap sesama
orang Bugis. Dipadukan dengan nilai-nilai yang diutamakan, seperti;
keberanian, ketaatan terhadap ajaran agama dan kelihaian berbisnis
merupakan unsur-unsur penggerak utama dalam perkembangan
kehidupan sosio-ekonomi dan politik mereka selama ini.
4.1.4 Etika-Moral Ekonomi Ponggawa
Jika memperhatikan dengan cermat kegiatan pertambakan
tradisional yang saat ini berlangsung di kawasan Delta Mahakam, dengan
segala aspek biofisik dan lingkungannya yang rawan (streesed eco-system),
tentu kita tidak akan mengatakan kehidupan menjadi seorang petambak
adalah pekerjaan yang mudah dan “menjanjikan”. Di dalam kegiatan
pertambakan, seorang petambak tidak hanya dituntut memiliki semangat
pantang menyerah, kondisi fisik yang prima, namun juga harus siap
menerima kenyataan pahit, yaitu kegagalan! Mengubah hutan mangrove
menjadi sebuah hamparan tambak yang produktif bukanlah pekerjaan
mudah, karena menuntut pengorbanan dan kerja-keras. Di satu sisi
mereka harus pula memiliki kepasrahan, karena keberhasilan panen yang
lebih banyak ditentukan oleh kemurahan alam. Kenyataan seperti inilah
yang selalu dihadapi oleh para petambak di Delta Mahakam. Artinya,
tidaklah mudah bagi seorang petambak untuk meningkatkan kehidupan
sosio-ekonominya, apalagi bisa “naik kelas” menjadi seorang ponggawa.
Keberhasilan usaha pertambakan di kawasan Delta Mahakam, tidak
serta-merta membuat semua petambak sontak menjadi kaya mendadak,
hanya mereka yang memiliki modal kuat dan lahan tambak yang luas
lah, yang pada saatnya berhasil “naik kelas” menjadi ponggawa. Kondisi
ini selain menciptakan jurang kesenjangan diantara para petambak, juga
menyebabkan seorang petambak yang telah berhasil menjadi ponggawa
Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal” 87