Page 112 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 112

membedakan secara tegas to- panrita dengan gambaran ambigu tentang
             to- warani, to-acca dan to-sugi.

             4.1.3 Etika-Moral Kemasyarakatan
                 Sebagai salah satu etnik yang represif terhadap hal baru, tentu
             saja dalam kurun waktu yang panjang tidak sedikit terjadi pergeseran
             nilai-nilai yang dianut masyarakat Bugis, yang kemudian terakumulasi
             sebagai etika moral yang diadopsi bersama. Sebagaimana digambarkan
               Faried (1999), bagaimana mungkin prilaku orang Bugis dewasa ini
             (yang bersaing dengan kasar, tidak adil, curang, membeda-bedakan
             orang di depan hukum), begitu jauh berbeda dengan ajaran leluhur
             mereka. Yaitu perilaku yang dibangun di atas semangat demokrasi, cinta
             keadilan, perlindungan atas kaum lemah dan rasa setia kawan. Menurut
               Faried kondisi ini merupakan akumulasi dari memudarnya nilai-nilai
             budaya orang Bugis akibat peperangan internal maupun eksternal. Sejak
             penaklukan oleh penguasa kolonial, penjajahan, pendudukan  Jepang,
             perang kemerdekaan, pemberontakan  Westerling dan Kahar Muzakar
             atau  TKR dan  Darul Islam. Selain akibat kemiskinan yang disebabkan
             oleh ketidakstabilan ekonomi.
                 Kontradiksi semacam itu sebenarnya telah tampak dalam nilai-
             nilai ideal masyarakat Bugis, sebagaimana terlihat dalam tarik-menarik
             antara  siri’ dan  passe’ , persaingan dan solidaritas, juga sistem hirarki
                                15
             dan persamaan hak. Interaksi orang Bugis pada dasarnya terdiri atas
             beberapa lapis kelompok yang saling terkait (keluarga, wilayah kekuasaan
             dan patron-klien) yang berwujud suatu piramida saling berhubungan,
             sebagaimana halnya interaksi antar individu dalam persaingan atau
             solidaritas.




             15.  Passe’ berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri,
                mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap kerabat, tetangga
                atau sesama anggota kelompok sosial. Melambangkan solidaritas, tidak hanya pada
                seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok
                sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah
                atau menderita sakit.


             Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”                        85
   107   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117