Page 190 - Konstitusionalisme Agraria
P. 190
telah menuntun arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah
untuk mereformasi sektor kehutanan (Kartodihardjo, 1999) dan
sumber daya alam lainnya (Jhamtani dan Kartodihardjo, 2009).
Pembentukan UU Kehutanan yang terburu-buru pada tahun 1999
menghasilkan kualitas undang-undang yang buruk, yang kemudian
membuat UU Kehutanan menjadi undang-undang di bidang tanah
dan sumber daya alam sebagai undang-undang yang laing sering diuji
kepada Mahkamah Konstitusi. Beberapa ketentuan kunci dalam UU
Kehutanan bahkan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dua Jenis Legislasi: Pro Rakyat vs Pro Modal
Periode reformasi dalam sejarah Indonesia merupakan periode paling
banyak dilahirkan regulasi yang berkaitan dengan tanah dan sumber
daya alam lainnya. Tidak pernah sebelumnya hadir regulasi pada level
undang-undang yang sebanyak ini sejak zaman kolonialisme Belanda
sampai dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang menerapkan
state-capitalism. Padahal arus untuk mengurangi intervensi negara
atas aktivitas ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam semakin
kuat dengan semangat neoliberalisme. Ternyata, untuk mengurangi
intervensi negara tersebutlah beragam undang-undang dilahirkan.
Asumsinya, ketika kekuasaan negara dibatasi, maka terbuka jalan
luas bagi investasi untuk masuk menguras sumber daya alam
Indonesia.
Pada masa ini, legislasi sumber daya alam semakin masif. Pola
sektoralisasi legislasi di bidang tanah dan sumber daya alam lainnya
warisan pemerintah masa lalu dilanjutkan. Padahal TAP MPR No.
IX/MPR/2001 telah mengamanatkan untuk melakukan kaji-ulang
semua peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan
pengelolaan sumber daya alam. Dengan mengabaikan amanat TAP
MPR tersebut, pemerintah bersama-sama DPR telah menghasilkan
puluhan undang-undang. Tabel berikut memperlihatkan bagaimana
pola fragmentasi legislasi di bidang sumber daya alam gaya Orde
Baru dilanjutkan dan bertambah masif.
Konstitusi Agraria dan Penggunaannya dalam Tiga Rezim Pemerintahan 159