Page 101 - Antologi Puisi Agraria Indonesia
P. 101
Dalam majlis musyawarah ninik mamak di Minangkabau sudah
biasa petatah petitih atau untaian sajak berisi kearifan dibacakan
secara bersahutan oleh beberapa ninik mamak yang sedang
bermusyawarah.
Bukankah petatah petitih Minangkabau, seperti “Bulek aie di
pambuluah, bulek kato di mupakat” (Bulat air di batang bambu,
bulat kata di mupakat) adalah juga sejenis sajak yang mengandung
kearifan lokal. Begitu pula pantun Melayu yang diucapkan jika
dua orang bersahabat mau berpisah seperti: “Kalau ada sumur di
ladang/ Boleh saya menumpang mandi/ Kalau ada umur yang
panjang/ Boleh kita berjumpa lagi”.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w juga demikian.
Dalam perayaan ini syair-syair yang mengungkapkan kehidupan,
perjuangan dan kepemimpinan Nabi Muhammad dibacakan
dengan dinyanyikan. Syair-syair pujian kepada Nabi itu biasa
disebut qasidah atau mada`ih al-nabawiyah (tembang pujian bagi
Nabi). Yang terkenal di Nusantara ialah Qasidah Burdah karangan
Syekh al-Busiri dan Qasidah Barzanji karangan Syekh al-Barzanji
seorang sufi abad ke-17 dari Persia.
Kini melalui antologi kecil ini tersaji di hadapan kita sajak-
sajak yang ditulis oleh petani muda atau anak tani dari berbagai
tempat di tanah air. Berbicara tentang sajak-sajak petani saya
lantas teringat kepada Keinji Meizawa, seorang penyair Jepang
terkenal sebelum Perang Dunia II. Penyair ini tumbuh dan besar
di kalangan masyarakat petani di Jepang. Dia menggagaskan
sajak-sajak yang ideal untuk petani yang ditulis oleh para petani,
terutama dalam mensyukuri karunia Yang Maha Kuasa. Di Jepang
dan Tiongkok sudah terbiasa setiap musim panen atau musim bunga
diadakan upacara keagamaan dan adat disertai festival seni antara
lain dengan membacakan atau menyanyikan sajak-sajak sebagai
ungkapan syukur kepada Penguasa alam semesta. Tetapi Keinji
86 Antologi Puisi Agraria Indonesia