Page 96 - Antologi Puisi Agraria Indonesia
P. 96

Lumutlumut di sekujur tubuhnya terus memutih, jalan takdir
             yang berayun dengan rantai besi. Pernah aku menyapanya
             suatu kali, dengan suara bom dan buldoser. Tetapi hujan
             menenggelamkan tubuh, batu, besi, kayukayu di beranda,
             anakanak, juga pohon dan tanaman kami hingga semua adalah
             mimpi. Hujan menjadi tanah di tubuh sun sehabis bercinta.


             Aku kembali mengayun bandul ke kiri. Menciptakan sebuah
             lubang dari ujung langit. Bintang berjatuhan. serupa komet
             harley membenturnya. Tubuh kita dibungkus cahaya.
             tanahtanah di sekitarnya pecah. Melemparkan semua benda di
             dunia; meja, kursi, piring sendok berkeletokan, lemari, sandal,
             sepatu, mobil, tongkat, pistol, computer, kramik, speker di
             tangan demonstran, bendera, tiang listrik, papan reklame,
             toa di masjid, botol coca cola, korek api. Ah, banyak sekali.
             Api yang membakar rumah dan menghanguskan tubuhnya.
             Mengitam. Hancur sebagai tanah dan mengembalikannya
             sebagai tanah. Tanah yang berjalan sebagai nasib dan
             kisahkisah.


             Pada tanah: aku sebagai lubang hitam manusia.


             Sumenep, 2010
   91   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101