Page 23 - Tanah untuk Rakyat Laki-laki dan Perempuan Indonesia
P. 23
Afirmasi Sertifikasi Tanah
Atas Nama Perempuan
Adhis Tessa
Pendahuluan
Seiring program pemberian jutaan sertifikat tanah per tahun
yang diberikan pemerintah secara gratis, ada aspek yang dilupakan,
khususnya terkait pada komposisi pencantuman nama perempuan
dalam sertifikasi tanah. Prosentase sertifikasi tanah atas nama
perempuan dalam keterlibatan program tersebut tidak lebih dari 5
persen dari jumlah implementasinya. Prosentase ini juga menjadi
kenyataaan bahwa dari ratusan nama yang tercantum dalam buku tanah
di sebuah wilayah pedesaan, semisal Manisrenggo Prambanan Klaten,
hanya kurang 10 persen kepemilikan tanah diatasnamakan perempuan
(Humaedi & Lucas 2014). Padahal nama itu terhubung dengan
pengakuan hak dan aksesibilitasnya terhadap sumber daya kepemilikan
yang ada. Kenyataan ini menunjukkan adanya pengaruh kuat falsafah
hidup dan pandangan dunia masyarakat Jawa tentang koncowingking
dalam persoalan sertifikasi tanah. Hal ini juga menunjukkan masih
kuatnya sistem patriakhi dalam masyarakat, sehingga akses atas
sumberdaya kepemilikan perempuan juga mengalami keterbatasan.
Kepemilikan tanah sebagai akses pemberdaya kehidupan keluarga
dan individu harus diakui secara administrasi formal kenegaraan, baik
dalam bentuk sertifikat tanah ataupun administrasi lainnya. Jaminan
kepemilikan itu telah diatur sebagaimana yang tertuang pada Pasal 19,
23, 32, 38 UUPA jo PP No. 24 tahun 1997. Dalam UU tersebut disebutkan
bahwa Hak Atas Tanah (HAT) perlu didaftarkan, dan pemerintah berserta
para pemegang hak atas tanah wajib mendaftarkan hak atas tanahnya
pada Badan Pertanahan Nasional c.q Kantor Pertanahan setempat agar
memperoleh surat tanda bukti kepemilikan hak atas tanah yang disebut
dengan sertifikat (Harsono 1977: 423-444).
3