Page 28 - Tanah untuk Rakyat Laki-laki dan Perempuan Indonesia
P. 28

atau harta bersama  yang  terlanjur  diatasnamakan kepada  suaminya
            sangat  terbatas juga. Jika  ditilik lebih mendalam,  keterbatasan  atau
            keengganan perempuan mencantumkan nama dalam proses sertifikasi
            tanah, bukan sekadar faktor - faktor formal administratif sebagaimana
            disebutkan  di  atas. Namun,  hal ini  juga  disebabkan  oleh kuatnya
            sistem  patriakhi  di masyarakat Indonesia,  khususnya masyarakat
            Jawa, Batak, Bugis dan Sasak. Sistem patriakhi adalah sebuah sistem
            yang berlaku di masyarakat yang menempatkan posisi laki- laki lebih
            dominan dibandingkan perempuan.  Sistem  ini terjadi akibat adanya
            cara pandang yang mengutamakan laki-laki. Mereka dianggap sebagai
            pihak yang paling penting dalam kehidupan dan penghidupan sebuah
            rumah  tangga.  Sementara posisi perempuan  dianggap  lebih rendah
            status  sosial,  ekonomi,  fisiologis,  hukum  alamiah  dan  sebagainya
            daripada  posisi laki-laki.  Jika laki-laki  memiliki  akses  yang bersifat
            keluar, maka perempuan dianggap cukup mengurusi hal-hal domestik
            dalam  rumah  tangganya.  Dalam  falsafah  Jawa  misalnya,  perempuan
            kemudian  diartikan sebagai  “koncowingking”,  yaitu sebuah  konsep
            tentang posisi  perempuan  yang  selalu  bertugas  mengurus rumah
            tangga  saja.  Koncowingking diartikan  sebagai  teman di  dapur atau
            teman  di belakang  rumah,  sehingga mereka kemudian  tidak berani
            berperan banyak dalam ruang publik, termasuk ada keengganan dalam
            mengajukan hak-hak kepemilikan dalam sebundel sertifikat tanahnya.


            Afirmasi Sertifikasi Tanah yang Berkeadilan dan Pro
            Perempuan
                   Dalam  kehidupan  manusia,  terlebih di  masyarakat  pedesaan
            Jawa,  tanah  sebagai  sesuatu  yang memiliki banyak nilai,  dari  nilai
            yang  bersifat  ekonomis  sampai  nilai  yang  bersifat kosmologis.  Nilai
            ekonomis tentu didasarkan pada kenyataan bahwa “emas ireng” (emas
            hitam), sebutan untuk nilai tanah, ini memiliki harga ekonomi yang
            cukup tinggi. Jika ia digunakan untuk media produksi, seperti sawah,
            kebun  dan bangunan  sewa,  maka ia  akan memberikan  peningkatan
            ekonomi  dan kesejahteraan bagi  pemiliknya. Secara  tradisional,

                                          8
   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33