Page 31 - Tanah untuk Rakyat Laki-laki dan Perempuan Indonesia
P. 31
Beberapa ilmuwan dan tokoh feminis banyak menyebutkan
bahwa internalisasi nilai yang mensubordinatkan perempuan sering
dilakukan masyarakat primordial atau tradisional. Tujuannya untuk
melanggengkan kekuasaan laki-laki dan melemahkan kekuatan
perempuan, sehingga mereka dapat ditundukkan dalam berbagai aspek
kehidupannya (Fakih, 2004).
Gerakan feminis radikal bahkan menganggap bahwa
penanaman nilai-nilai itu sengaja dilakukan untuk menjaga laki-laki
agar tetap lebih dominan dibandingkan perempuan. Relasi kekuasaan
yang dibangun pun akan lebih berorientasi pada kekuasaan elitis.
Praktik ini akan ditanamkan ke seluruh elemen kehidupan, baik
sebelum atau saat telah berumah tangga. Polanya dapat ditemukan
pada hubungan rumah tangga, pembagian kerja harian, pengasuhan
dan pendidikan anak, pembagian harta, dan lainnya. Dengan demikian,
jika dilihat dari kecenderungannya, maka pencantuman nama diri
dalam sebuah bukti-bukti kepemilikan tanah juga bisa dikategorikan
sebagai bagian dari praktik dan sistem yang berkembang di dalam
masyarakat. Jika masyarakat di sebuah wilayah, khususnya wilayah
pedesaan Jawa yang masih kental dengan suasana patriakhi, maka
kecenderungan kepemilikan tentu didasarkan pada nama “laki-laki”
dalam bukti-bukti pengadministrasian tanahnya. Fenomena seperti
ini menjadi sangat wajar, ketika laki-laki dianggap lebih cekatan,
banyak gerak, dan memiliki daya tawar tinggi jika sedang berhadapan
dengan pihak lain. Sementara kepemilikan tanah yang sebenarnya
milik perempuan seringkali dititipkan kepada pihak laki-laki, baik
suaminya, saudara laki-lakinya, anak laki-lakinya, ataupun saudara
laki-laki ayahnya. Jika model seperti ini terus berlanjut dalam praktik
pengadministrasian tanah, maka perempuan akan sangat rentan
atau sangat terbatas terhadap kepemilikan sumber -sumber daya
ekonominya, khususnya terkait tanah.
Jika pada tahun 2002, pemerintah merumuskan satu prinsip
kebijakan “pengarusutamaan gender dalam berbagai kebijakan”
(Kementerian Perempuan dan Anak RI 2002), di mana kata gender
11