Page 27 - Tanah untuk Rakyat Laki-laki dan Perempuan Indonesia
P. 27

Akibat  hukum  dari  perceraian  terhadap pembagian  harta
            bersama menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal
            37 telah disebutkan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian,
            harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing”. Hukum yang
            dimaksud adalah hukum agama, hukum adat, atau hukum yang berlaku
            lainnya  (Jazuni  2004).  Oleh  karena  itu,  pembagian  harta  bersama
            dalam perkawinan senantiasa merupakan suatu hal yang krusial dari
            akibat  perceraian. Suami  dan isteri  sering meributkan  pembagian
            harta bersama yang dimiliki selama perkawinan berlangsung. Dalam
            UU Perkawinan tidak ditetapkan secara tegas tentang berapa bagian
            masing-masing  dari  suami-isteri  atas harta bersama itu. Undang-
            Undang Perkawinan  rupanya memberikan kelonggaran  dengan
            menyerahkan kepada pihak suami-isteri yang bercerai tentang hukum
            mana dan  hukum apa  yang diberlakukan dalam  menyelesaikan
            sengketa pembagian harta bersama tersebut.  Sayangnya, perempuan
            seringkali  mendapatkan bagian  yang  kurang  sesuai  atau bahkan
            tidak sama sekali dari harta bersama. Salah satu penyebabnya adalah
            jaminan  kepemilikan tanah  atau  rumah  yang tidak  mencantumkan
            namanya dalam sertifikat tanah dari harta bersama atau harta bawaan,
            sehingga  ia seringkali  berada pada posisi yang  lemah.  Banyak  kasus
            di  pengadilan,  perceraian  telah menyebabkan banyaknya kerugian
            pihak  perempuan  terhadap kepemilikan harta bersama  atau harta
            bawaannya.  Dalam  putusan  PN  YOGYAKARTA  No.  108/Pdt.G/2013/
            PN.YK Tahun 2014 misalnya, tampak pembagian harta bersama dalam
            perceraian  suatu  rumah  tangga  lebih dominan dimiliki  oleh  pihak
            suami, karena tanah-tanah yang ada lebih banyak diatasnamakan pada
            nama suaminya. Akhirnya, tidak jarang penyelesaian pembagian harta
            bersama melalui pengadilan yang menuntut banyak biaya, waktu dan
            tenaga seringkali tetap merugikan kaum perempuan.

                   Dalam kasus perempuan berperkara di pengadilan, selain secara
            psikologis  tertekan,  putusan  pengadilan lebih banyak menekankan
            pada  jaminan  hidup  bagi anak-anaknya di  masa  yang akan datang.
            Jika  demikian, peluang perempuan  mendapatkan  hartanya  sendiri

                                          7
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32