Page 25 - Tanah untuk Rakyat Laki-laki dan Perempuan Indonesia
P. 25

akses pelayanan kesehatan, sulitnya perolehan kerja, dan sebagainya,
            tetapi juga  disebabkan  oleh  faktor-faktor kultural  yang menambah
            keterbatasan pada faktor eksternal itu semakin menguat. Ketika falsafah
            “koncowingking” (teman di belakang) yang membuatnya berada pada
            posisi domestik dan privat, selalu dipegang setiap perempuan, maka
            ada rasa sungkan dan keengganan untuk menghadirkan nama dirinya
            dalam  sebuah  dokumen  kepemilikan tanah.  Padahal tanah tersebut
            bisa jadi merupakan  satu-satunya  aset  yang mampu menjaga  diri
            dan anak-anaknya dari kemiskinan. Tulisan ini secara umum hendak
            menjelaskan proses sertifikasi tanah atas nama perempuan di tengah
            kehidupan masyarakat yang masih kuat menganut  sistem  partiakhi.
            Jawaban permasalahan  tersebut  dapat  memberikan pertimbangan
            penting  bagi pemerintah  dan  pihak  lainnya untuk  mendorong
            adanya afirmasi terhadap upaya dan program sertifikasi tanah secara
            berkeadilan dan memihak kepada kaum perempuan. Afirmasi dalam
            konteks  ini dimengerti  sebagai  upaya-upaya  positif  yang dilakukan
            pihak-pihak  terkait khususnya  pemerintah (Badan Pertanahan
            Nasional)  dalam mendorong  keterlibatan  dan  pencantuman nama
            perempuan pada sertifikat atas tanah yang dimilikinya. Tanah itu bisa
            berasal dari warisan, hibah, dan harta bersama sepanjang kehidupan
            pada keluarga dan rumah tangganya.


            Sistem Patriakhi dibalik Sebundel Kertas “Sertifikat”
                   Ikhtiar  pemerintah  dalam  soal  sertifikasi  tanah  bagi  jutaan
            keluarga di pedesaan perlu diapresiasi. Sayangnya, program sertifikasi
            itu tidak atau kurang memperhatikan keterlibatan perempuan dalam
            bukti kepemilikan  tanah  yang  dimilikinya. Banyak  perempuan,
            khususnya di pedesaan Jawa, yang menyerahkan urusan pembuatan
            sertifikat dan pencantuman nama diri dalam bukti kepemilikannya
            kepada  pihak laki-laki, baik kepada  suaminya,  anak laki-lakinya
            ataupun saudara laki-lakinya. Dalam banyak kasus, proses sertifikat
            tanah itu jarang  dilakukan  perempuan  saat masa  pernikahan
            mereka  berlangsung.  Ada  beberapa alasan  yang  sering dijumpai,

                                          5
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30