Page 26 - Tanah untuk Rakyat Laki-laki dan Perempuan Indonesia
P. 26

yaitu: (i)  berbiaya tinggi, (ii) pembagian waris yang belum selesai,
            (iii)  pengurusan  administrasi  yang bertele-tele  dan lama, karena
            disebabkan oleh jaringan mafia tanah yang menguasai administrasi
            dari level  paling bawah  sampai  pada Badan Pertahanan Nasional,
            dan (iv)  peran  dominan  suami  sebagai kepala keluarga. Beberapa
            alasan  ini dijumpai oleh  Hery  Listyawati dalam  penelitiannya
            tentang  keterlibatan perempuan  dalam  kepemilikan, pemanfaatan
            dan  pengadministrasian hak  atas  tanah harta bersama  di Sleman
            Yogyakarta (Listyawati, 2000).

                   Beberapa  kesulitan yang dialami  pada saat  pengurusan dan
            pengadministrasian kepemilikan tanah telah menyebabkan hadirnya
            berbagai inisiatif keluarga yang lebih berorientasi  pada  penekanan
            peran laki-laki di dalamnya. Konsekuensinya, para laki-lakilah yang
            paling sering mencantumkan namanya ke dalam sertifikat ataupun
            dalam  urusan  admistrasi  pertanahan lainnya. Padahal  tanah itu
            bisa  jadi merupakan  milik  dari  istrinya,  warisan  keluarga  istrinya,
            ataupun hasil  usaha bersama  dalam kehidupan  rumah  tangganya.
            Sebuah nama yang tertera di dalam sertifikat itu bukan hanya sekadar
            nama  identitas diri  saja,  tetapi di dalamnya  memiliki  konsekuensi
            hukum  atas  hak  dan  kewajiban  seseorang  terhadap  kepemilikan
            sebidang  tanah. Jika  sebuah  rumah  tangga  atau keluarga berjalan
            normal  sebagaimana biasanya,  pencantuman nama  pihak laki-laki
            dalam  sebuah  sertifikat  tanah  yang  sebenarnya  milik  perempuan
            tidaklah akan menimbulkan persoalan berarti. Namun, jika sebuah
            rumah tangga mengalami keadaan darurat dan bahkan ke perceraian,
            maka identitas diri dalam sertifikat tanah benar-benar menimbulkan
            masalah berarti, terlebih ketika pihak laki-laki tidak lagi mau berbagi
            atas  seluruh nilai kekayaan  selama  proses berumah  tangga itu.
            Perempuan menjadi sangat rentan kehilangan kepemilikan dan akses
            terhadap tanah dan rumah, ketika sang laki-laki mengklaim secara
            sepihak  sebidang  tanah  yang  mencantumkan  nama  dirinya  di  atas
            sertifikat itu. Bisa jadi tanah yang diklaim itu adalah milik perempuan
            yang menjadi istrinya atau menjadi mantan istri setelah perceraian.

                                          6
   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31