Page 33 - Tanah untuk Rakyat Laki-laki dan Perempuan Indonesia
P. 33
baik dalam tataran pemerintah paling rendah ataupun pemangku
kepentingan dalam persoalan tanah, khususnya Badan Pertanahan
Nasional, untuk menggugah kaum perempuan lebih aktif dalam
proses pengadministrasian tanah hak miliknya. Keempat, mendorong
munculnya kesadaran baru dengan adanya pemaknaan ulang terhadap
falsafah koncowingking dan adanya upaya mengurangi sistem patriakhi
dalam kasus pengadministrasian tanah berupa proses sertifikasi tanah.
Para tokoh agama dan tokoh masyarakat perlu didorong perannya dalam
upaya pengarusutamaan gender pada persoalan sertifikasi tanah atas
nama perempuan di berbagai wilayah. Keempat strategi di atas menjadi
langkah signifikan bagi munculnya afirmasi sertifikasi tanah atas
nama perempuan, sehingga akses kepemilikan sumber daya ekonomi
dapat dilakukan secara berkeadilan dan pro perempuan, sebagaimana
tuntutan kebijakan pengarusutamaan gender dalam berbagai bidang
kehidupan.
Penutup
Kelompok perempuan sangat rentan dalam persoalan
kepemilikan tanah. Banyak tanah waris, harta hibah dan harta bersama
yang dimilikinya seringkali terlepas saat peristiwa perceraian terjadi.
Hal ini bermula dari hal sederhana, yaitu keengganan atau keterbatasan
mereka dalam mencantumkan nama diri dalam sertifikat tanah
kepemilikannya. Dengan ikatan kuat sistem patriakhi yang terpatri
dalam falsafah koncowingking sebagaimana kehidupan masyarakat
Jawa, perempuan lebih menyerahkan urusan pengadministrasian
tanahnya dilakukan dan diatasnamakan kepada pihak laki-laki, baik
suami, saudaranya ataupun saudara orang tuanya. Walaupun kesadaran
hak-hak mereka atas tanah mulai tumbuh, namun alasan kultural
seperti ini tetap saja membatasi dirinya dalam program sertifikasi tanah
yang digalakkan pemerintah sekarang ini.
Oleh karena itulah, seiring program jutaan pemberian
sertifikat tanah secara gratis, sebaiknya pemerintah melakukan empat
afirmasi positif. Afirmasi itu adalah: (i) pembatasan pencantuman
13