Page 184 - Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
P. 184
saling timbal-balik (resiprositas) untuk menjaga keseimbangan alam sekitar
yang disebut sasi. Sasi adalah suatu ketentuan hukum adat yang melarang keras
siapapun untuk mengambil sesuatu di alam sekitar, darat maupun laut, pada
suatu masa tertentu dalam rangka menjamin kelestariannya.Contoh-contoh
sasi dalam bentangan wilayah darat misalnya sasi ewang (hutan), sasi dusun
sagu, sasi kelapa (untuk menjaga kelestarian bahan pangan setempat). Di
beberapa tempat juga diberlakukan semacam “sasi abadi” untuk kawasan
hutan primer yang dikeramatkan (sacred forests, ancestral sites), termasuk “sasi
abadi” hutan bakau, bahkan termasuk “sasi abadi” untuk jenis satwa liar yang
dikeramatkan, seperti semua jenis ular, biawak, dan tikus hutan di Pulau Ta,
Tanimbar Kei, Maluku Tenggara.
Masyarakat hukum adat di Maluku beserta hak-hak atas tanah-tanah
adatnya atau hak ulayat atau hak petunana terbentuk dalam suatu proses sejarah
yang panjang, hingga sampai sekarang masih tetap eksis dan dipertahankan.
Mereka juga pada umumnya sangat menghormati dan sadar pula bahwa
sebidang tanah yang digarap sejak leluhur adalah tanah adat yang dari
padanya mereka hidup serta tunduk pada aturan-aturan adat yang mengikat.
Tanah-tanah adat yang dikenal sebagai tanah pertuanan pada hakikatnya
adalah suatu konsep pemilikan bersama masyarakat hukum adat setempat.
Berdasarkan konsep ini, maka masyarakat hukum adat Maluku, kemudian
mengembangkan satu konsep khas tentang pengelolaan sumber daya alam
dalam wilayah pertuanan mereka sesuai dengan pola-pola hubungan sosial
dan kekerabatan yang juga khas setempat yang disebut sasi.
Keberadaan hak ulayat/hak pertuanan serta hak pengeloaannya, di
berbagai daerah di Maluku,sering berhadapan atau berbenturan dengan
kebijakan pembangunan, khususnya terkait dengan kebijakan daerah di
bidang investasi (kehutanan, pertambangan, pariwisata dan sebagainya)
yang akhirnya menimbulkan konflik antara masyarakat hukum adat dengan
institusi pemerintah maupun dengan investor. Konflik dan sengketa dimaksud
semakin mudah terjadi ketika politik hukum dari pemerintah khususnya
pemerintah daerah untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat atas
tanah masih belum memadai. Oleh karenanya dibutuhkan politik hukum
daerah yang memadai untuk mengatur hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan
167