Page 49 - Konsolidasi Tanah, Tata Ruang dan Ketahanan Nasional
P. 49
Konsolidasi Tanah, Tata Ruang, dan Ketahanan Nasional 35
bentang lahan untuk pembangunan fasilitas umum (seperti
tapak untuk pembangunan gedung pertemuan, gedung
olah raga, gedung pendidikan, dan gedung peribadatan).
Ketidakefektifan pemanfaatan ruang juga terjadi di areal
pertanian atau perdesaan. Beberapa areal pertanian (lahan
basah dan kering) tampaknya tidak memiliki infrastruktur
lokasi areal pertanian/perkebunan yang memadai, sehingga
para petani tidak mudah untuk bekerja di areal pertaniannya
dan untuk mengambil hasil pertaniannya. Salah satu akibatnya
adalah inefisiensi pengelolaan pertanian/perkebunan rakyat.
Ruang daratan atau bentang lahan permukiman dan
pertanian/perkebunan yang tumbuh tanpa prasarana jalan dan
fasilitas umum yang memadai inilah yang potensial menjadi
objek pelaksanaan KT di Indonesia. Potensi lokasi pelaksanaan
KT diduga berkembang pesat selama masa reformasi, karena
masyarakat semakin berani untuk melakukan pembangunan
di atas tanahnya, meskipun tidak sesuai dengan alokasi
peruntukan dan penggunaan sebagaimana ditetapkan dalam
blue print penataan ruang. Sebaliknya, kemampuan otoritas
pertanahan melakukan KT tampak berkurang diakibatkan
sulitnya memperoleh persetujuan dari pemilik tanah. Kualitas
demokrasi di Indonesia di masa transisional saat ini yang masih
lebih mengedepankan hak daripada kewajiban membuat
tantangan lebih besar untuk memperoleh persetujuan
dari pemilik tanah untuk mengikuti kegiatan KT. Namun,
semangat untuk lebih intensif melaksanakan KT di Indonesia
tampak dengan peningkatan struktur otoritas pertanahan
yang bertanggungjawab untuk melakukan KT, yakni dengan