Page 56 - Konsolidasi Tanah, Tata Ruang dan Ketahanan Nasional
P. 56
42 Oloan Sitorus
Padahal, Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 beserta semua
aturan kebijakannya bersifat intern-administratif, sehingga
tidak memiliki kewenangan untuk mengatur tindaklanjut
pembangunan fisik setelah penataan aspek pertanahan selesai
dilakukan.
5
Pembangunan fisik prasarana jalan dan fasilitas umum
lainnya ini penting oleh karena merupakan wujud konkrit dari
diterapkannya pendekatan kewilayahan dalam pelaksanaan
KT. Dengan pelaksanaan KT, maka bidang tanah ditinjau
dari perspektif kewilayahan dengan segala penghidupan
(livelihood) yang ada di atasnya. Dalam konteks inilah sangat
menarik untuk mencermati pelaksanaan KT di KRB III Merapi,
yang mencoba untuk mengkaitkannya dengan pembangunan
ekowisata. Kesadaran tentang kewilayahan ini, dalam
6
sejarah tata kuasa agraria sangat menonjol pada masyarakat
tradisional (masyarakat adat), sehingga menyebutkan istilah
Hak Ulayat (atau Wilayah) sebagai hak penguasaan atas tanah
tertinggi dalam Hukum Adat. Namun, seiring perkembangan
demokratisasi yang transisional sejak tahun 1998 di Indonesia,
sense kewilayahan itu tergerus secara drastis. Studi Strategis
Dalam Negeri (SSDN) penulis tanggal 9-14 Agustus 2015 di
Provinsi Kalimantan Tengah menunjukkan betapa Masyarakat
Adat Nasional (MADN) melalui Kelompok Tani Dayak Misik
yang meminta atau bahkan mendesak otoritas pertanahan
5 Oloan Sitorus, Op. cit. ,hlm. 195.
6 Aristiono dan Sutaryono, Ecoturism Lereng Merapi Pasca
Konsolidasi Tanah, Penerbit STPN Press, Yogyakarta, 2015, hlm.
90-110.