Page 195 - Relasi Kuasa: Dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan
P. 195
186 Aristiono Nugroho, Suharno, dan Tullus Subroto
Tanah sawah telah menjadi budaya masyarakat setempat, karena
perannya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebidang
tanah sawah bukanlah sekedar hamparan tanpa makna, melainkan
akumulasi seperangkat pengetahuan, tradisi, dan budaya petani
dalam berinteraksi dengan sumberdaya alam.
Sebagai teknologi sosial, strategi penggunaan tanah memiliki
kaitan erat profesi atau mata-pencaharian petani. Oleh sebab
itu, para penggagas strategi ini berupaya agar substansinya akrab
dengan pertanian, karena para petani merupakan pihak yang ingin
diberdayakan. Substansi ini difahami para petani di Desa Prigelan,
sehingga mereka mendukung strategi penggunaan tanah. Bagi
petani, pengetahuan, tradisi, dan budaya bersawah yang mereka
miliki memerlukan wadah, yaitu tanah sawah. Meskipun hasil
pertaniannya seringkali belum memadai, tetapi telah dapat memberi
harapan penghasilan secara periodik (berkala).
Identitas dan peran sosial petani dapat diekspresikan ketika
mereka didukung oleh ketersediaan tanah sawah yang dapat
digarapnya. Hal ini menjadikan para petani memiliki pandangan
hidup dan etos, yang mengutamakan keselarasan relasi antara
dirinya dengan lingkungan alam dan sosialnya. Oleh karena itu,
eksploitasi yang berlebihan mereka hindari, meskipun kesejahteraan
hidup tetap mereka perjuangkan. Pandangan ini terus menerus
dilestarikan dari generasi ke generasi melalui pengetahuan, tradisi,
dan budaya menggarap tanah sawah. Para petani sadar bahwa
konsekuensi buruk akan diperoleh ketika tanah sawah di Desa
Prigelan berkurang, sehingga strategi penggunaan tanah memiliki
makna yang penting bagi mereka.
Seluruh pandangan Mardiyono ini memperlihatkan makna
strategi pertanahan yang diterapkan oleh Pemerintah Desa Prigelan
bagi petani. Secara ringkas ada tiga makna strategi pertanahan bagi