Page 180 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 180
(1) Kurangnya penerangan dan bimbingan kepada masyarakat,
sehingga menyebabkan kurangnya pengetahuan dan pengertian
dalam bidang hukum pertanahan, terutama pada rakyat kecil;
(2) Kurangnya atau lemahnya pelaksanaan hukum pertanahan dari
yang berwenang (law enforcement) yang dapat menyebabkan
administrasi pertanahan tidak berjalan dengan semestinya;
(3) Keadaan ekonomi para petani yang pada umumnya masih lemah
yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah dan kepadatan
penduduk tanpa bertambahnya kesempatan kerja yang memadai di
satu pihak, dan di pihak lain terbatasnya persediaan tanah garapan di
daerah-daerah yang padat penduduknya, sehingga (tanpa disengaja
untuk melanggar hukum) melakukan fragmentasi tanah menjadi
lebih kecil daripada yang ditetapkan dalam perundang-undangan
dengan jalan menjualnya atau dengan cara lain kepada pihak ketiga
yang bermodal;
(4) Kesenjangan daripada pihak yang kuat untuk menghindari dari
berlakunya hukum padanya yang dirasakan berat baginya, misalnya
terhadap hukum perpajakan, hukum agraria dan sebagainya.
6. Dengan demikian menyebabkan terdapatnya keadaan yang tidak serasi
pada pola pemilikan, penguasaan dan penggarapan tanah. Di satu pihak
terjadi pemilikan tanah yang semakin sempit atau bahkan tidak memiliki
tanah sama sekali dan di lain pihak ada akumulasi dan pemusatan
pemilikan tanah oleh petani-petani dan orang-orang bukan petani yang
kuat baik orang-orang sedesa ataupun diluar desa.
Timbullah jenis pemilikan yang dinamakan pemilikan guntai (absentee).
Dari desa-desa sampel penelitian luas pemilikan di daerah Bekasi
(Jatiluhur), misalnya, luas pemilikan tanah oleh orang di dalam desa
sendiri adalah rata-rata 0,94 Ha/orang, sedang luas pemilikan orang-
orang di luar provinsi rata-rata 2,65 Ha/orang. (Sumber data: PERUM
Otorita Jatiluhur dari laporan Team Fakultas Pertanian UNPAD,
Oktober 1976). Persentase tanah-tanah yang dikuasai secara guntai
(absentee) sukar diperoleh.
145