Page 192 - Mozaik Rupa Agraria
P. 192
Dihimpit Karena Sipit 1
Kus Sri Antoro
Kekecewaan mengemuka di wajah Ong. Pada 24 Agustus 2015,
upaya Ong untuk mengurus balik nama Sertifikat Hak Milik
(SHM) Tanah ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), kandas. Sebidang tanah yang
diurusnya adalah milik isterinya, seorang etnis Jawa. Permohonan
Ong ditolak pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul,
padahal, persyaratan tambahan berupa Akta Kelahiran pun sudah
ia bawa. Alasannya, Ong tergolong Warga Negara Indonesia
(WNI) Non Pribumi atau WNI Keturunan Asing. Alasan serupa
pernah diberlakukan kepada Tan Susanto Tanuwijaya, WNI yang
mengajukan surat permohonan hak milik tanah pada 31 Juli 2015,
dalam Surat Kepala Kantor Pertanahan Bantul kepada Kepala
1 Versi Awal tulisan ini berjudul Diskriminasi Etnis dan Ras dalam Kebijakan Pertanahan di DIY.
Tulisan ini semula hendak diterbitkan bersama AJI Yogyakarta dalam program Fellowship
Liputan sebagai bagian dari Journalists Workshop on Human Rights Reporting yang
diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Internews
dan Kedutaan Belanda di Yogyakarta, 6-8 September 2019, namun urung karena satu dan
lain hal. Penyebutan nama-nama sudah seijin para penyintas pada saat peliputan. Tulisan
ini diterbitkan untuk pendidikan dan dipersembahkan untuk Alm. H. Budi Setyagraha
(Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia/PITI), Alm. Willie Sebastian (Gerakan Anak Negeri
Anti Diskriminasi/GRANAD), Handoko, SH., dan para penyintas diskriminasi etnis dan
ras dalam hal agraria di DIY, khususnya yang berlatar kelompok rentan sosial ekonomi dan
politik.