Page 187 - Mozaik Rupa Agraria
P. 187
seperti lukisan mozaik, menghadirkan batu-batu dengan beragam
bentuk dan warna yang tidak selalu bulat dan hitam, menjauhkan
diri dari mitos yang berkembang. Pepatah yang mengatakan
“udang selalu ada di balik batu” memang benar, tetapi sungai ini
juga menyimpan kejutan lain seperti kepiting, ikan sidat, kutuk,
dan lele yang muncul begitu saja.
Pada setiap petualangan di sungai, saya juga melibatkan
diri dengan pasir yang lembut dan halus. Pasir bukan hanya
bahan permainan biasa, melainkan identitas diri saya. Di balik
kelekatannya, pasir sungai menjadi simbol kehidupan saya yang
melebur antara subyek dan obyek, pemain dan mainan. Sebagai
anak sungai, saya selalu bersedia menjadi bagian dari permainan
alam sungai, di mana saya bisa bermain dan dipermainkan oleh
pasir yang menjadi sahabat setia setiap hari.
Ada kehadiran kawan-kawan musiman yang menjadikan
pinggiran sungai sebagai panggung permainan mereka. Saat
kemarau menapakkan kakinya, capung-capung beterbangan
di antara bunga kangkung yang menjalar indah di kolam kami.
Tak dapat dipercaya, capung pinggiran sungai begitu memukau
dengan keelokannya. Mereka terbang ringan seperti jarum
bersayap, berwarna-warni memikat hati; ada yang merah, kuning,
biru, hijau, ungu, dan yang paling istimewa, berwarna putih yang
langka. Aku memilih untuk menjadikan setiap sampel keringnya
sebagai koleksi pribadi, meletakkannya rapi dalam kotak pensil
yang membentuk sebuah museum kecil, selalu memukau mataku
setiap kali kutatap.
Saat senja tiba, burung-burung sriti mengejar matahari
terbenam, melintas di wajah sungai dengan lekuk-lekuk
indah. Hal ini memberi tanda bahwa saatnya untuk mandi.
Setelah itu, serangga-serangga mulai berdatangan, melengkapi
kehidupan malam di pinggiran sungai. Jika tak kunjung datang,
174 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang