Page 184 - Mozaik Rupa Agraria
P. 184
beli tanah, hanya permintaan Joyo Diguno untuk “ganti paculan,”
simbolisasi dari jerih payah saat membuka lahan dulu. Sarjono
menjadi warga baru di pinggiran sungai kota, membawa angin
segar perubahan.
Kabar perpindahan Sarjono tersebar cepat di desa asalnya, dan
seiring waktu, semakin banyak penduduk desa yang memutuskan
untuk mengikuti jejaknya. Joyo Diguno, yang awalnya merasa
sendirian di pinggiran sungai, kini menjadi tetua yang dihormati. Ia
mengambil tanggung jawab untuk mengatur kehidupan bersama
seluruh warga, agar mereka bisa hidup berdampingan dalam
damai dan keadilan. Bersama-sama, mereka merumuskan aturan-
aturan sosial dan kebiasaan gotong-royong dari desa asalnya tetap
dijaga dan dilanjutkan dalam kehidupan kota yang baru terbentuk.
Kebersamaan dan semangat gotong-royong menjadi pondasi bagi
komunitas yang tumbuh di pinggiran sungai, mewarnai kisah
hidup Joyo Diguno dengan nuansa kehidupan yang kreatif dan
harmonis.
'''
Namaku Siswa, dan aku adalah anak dari Pak Sarjono,
lahir di pinggiran sungai kota yang tak pernah lepas dari cerita-
cerita menarik. Saat pertama kali matahari menyinari wajahku,
suasana yang tak biasa menyelimuti keberadaanku. Banyak
orang berkumpul di sekitar tempat tidurku, mungkin merayakan
kehadiran seorang anak di keluarga Pak Sarjono. Meskipun
belum mampu berjalan, introvertisme yang tumbuh dalam diriku
menghabiskan hari-hari di atas ranjang. Bantal dan selimut
menjadi teman setia, sementara noda-noda di dinding bambu
kamarku menjadi sahabat cengkerama batinku. Sering kali,
aku berbicara dengan noda gambar yang terhampar di dinding,
menciptakan dunia imajinatif di dalam kamarku.
Hak Asasi Manusia dan Agraria 171