Page 189 - Mozaik Rupa Agraria
P. 189
jaman dengan sombongnya mencuri saat-saat paling indah dan
tidak pernah mengembalikannya.
Sebagaimana yang kusampaikan, subyek menikahi obyek.
Anak-anak pinggir sungai, tak peduli betapa mereka mencintai
tempat itu, harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa
jaman bisa menggugurkan eksistensi mereka, menjadikannya
punah dalam sekejap. Seperti air yang mengalir tanpa henti,
begitulah kehidupan di tepi sungai, terus berubah tanpa ampun.
'''
Perjalanan dewasaku disertai dengan kehilangan-kehilangan
yang semakin menyakitkan. Kali ini, aku menyaksikan kehilangan
yang lebih kompleks, melibatkan keluargaku sendiri. Kakak
sepupuku, anak dari Pakde Joyo Diguno, menjadi korban kebijakan
pemerintah yang tanpa ampun. Rumah yang ia tempati harus
dirobohkan karena di lokasi tanahnya akan dibangun sebuah hotel
megah. Pemerintah, dengan tangan dinginnya, menggugurkan
hak dan memaksa keluarga kami untuk mengikhlaskan rumah
yang menjadi saksi banyak kenangan.
Untuk menebus kehilangan tersebut, kakakku diberi ‘uang
kerahiman’ sebagai kompensasi, seolah-olah uang tersebut bisa
menggantikan semua yang telah hilang. Nyatanya, itu hanyalah
sedikit obat pelipur lara. Uang itu tidak cukup untuk membeli
rumah layak di kota, membuatnya terpaksa mencari tempat
tinggal di pedesaan yang jauh dari keramaian kota. Ia yang sejak
kecil terbiasa dengan kehidupan di tepi sungai, sekarang harus
beradaptasi dengan suasana baru di desa.
Pakde Joyo Diguno, yang dahulu membimbing ayahku untuk
pindah ke kota demi masa depan yang lebih baik, sekarang harus
melepas anaknya sendiri untuk tinggal di desa, hanya sebagai
pengontrak tanpa memiliki tanah yang bisa dipanggil sebagai
176 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang