Page 188 - Mozaik Rupa Agraria
P. 188
aku memanggil mereka dengan bau cabe khas, “Thethe boleyo,
lombok abang lombok ijo...”, sebagai panggilan ajaib untuk
menarik mereka keluar dari persembunyian mereka.
Teman-teman sejatiku adalah si Rendhet dan si Galah, dua
sahabat yang menjadi penghuni setia kolong jembatan. Rendhet,
anak pemulung, setiap hari memberiku karton bungkus rokok
yang aku kreasikan menjadi wayang atau boneka angkrek.
Terkadang, karton itu juga berubah menjadi kapal kecil, gelas
pasir, mahkota kepala, atau bahkan tas sekolah. Galah, si anak
copet, adalah partner bermainku dalam merayakan kebebasan di
pinggiran sungai. Bersamanya, aku menikmati main layang-layang
dan lomba lari lompat batu di tepian sungai. Kemampuannya
berenang membuat tubuhku terlatih lincah dalam berbagai
medan sungai yang berliku.
Namun, pada suatu siang sepulang sekolah, aku merasa
sesuatu yang tidak beres. Rendhet dan Galah tak kunjung muncul
di tempat biasanya. Aku memutuskan untuk memanjat tebing
jembatan yang biasa menjadi tempat permainan kami. Namun,
yang kulihat hanyalah arang hitam dan kepulan asap yang
menyelimuti bekas rumah mereka. Rumah yang menjadi tempat
tawa dan ceria kami habis dilahap api polisi beberapa jam yang
lalu. Air mataku tak dapat disembunyikan. Ini bukanlah kali
pertama hal serupa terjadi, namun rasa kehilangan dan duka yang
membekas tetap sama menggelayut di hatiku.
Kelak, pemahaman akan menjadi temanku setia, menyelinap
perlahan dalam hidupku. Aku menyadari bahwa anak-anak
pinggir sungai selalu mengalami kehilangan, seperti denyut nadi
yang tak pernah berhenti. Mereka, seperti anggota dari saeculum
playgroup yang indah, terus berganti kawan, tanpa perpisahan
yang diundang atau bunga yang menandai perpisahan. Sungai,
takdir mereka, adalah panggung yang selalu berubah, dimana
Hak Asasi Manusia dan Agraria 175