Page 186 - Mozaik Rupa Agraria
P. 186
itu terdengar kembali menambah kebingunganku. Mengapa setiap
malam terdengar lengkingan sirine, dan esok paginya ada warga
yang meninggal dunia? Semakin lama, semakin tak terpahami
kehidupan yang tersembunyi di balik tirai kegelapan kota.
Bagi saya, kampung itu adalah sumber kebahagiaan yang
tak terhingga. Setiap pagi, embun menari-nari di helai daun,
menyelipkan kelembutan pada dunia yang terbangun dari tidurnya.
Uap air mengambang dari napas penghuni setia, memberikan
sentuhan mistis pada suasana pagi yang masih tenang. Pagi-
pagi buta, ketika matahari masih malu-malu memancarkan
sinarnya, saya suka mengunjungi batuan cadas yang tertutup
embun. Tetesan embun menggelantung bening di ujung daun
suflir, memantulkan cahaya pagi seperti permata alami. Di antara
seretan batu itu, seperti ritual harian, sepasang mata tajam milik
kelinci piaraanku menatap saya. Senyum manisnya mencairkan
pagi yang dingin, dan saya merendahkan diri untuk menyapanya,
mengusap pipi saya di bulu-bulu hangatnya.
Setiap hari, saya berpamitan pada pinggiran sungai sebelum
melangkah menuju sekolah. Sungai adalah teman lama saya,
dan kekaguman pada aliran air yang tak pernah surut itu sudah
tertanam sejak kecil. Di pinggiran sungai, saya menemukan
sahabat-sahabat setia: air yang mengalir dengan riuh rendahnya,
batu-batu yang menjadi saksi bisu perjalanan waktu, pasir yang
menggoda untuk dijadikan mainan, dan ikan-ikan yang berlarian
di bawah permukaan air yang jernih. Mandi di sungai bukanlah
sekadar kebutuhan, tapi lebih kepada perayaan akan kebersamaan
dengan alam.
Bagi saya, sungai bukanlah sekadar parit, melainkan sebuah
dunia yang hidup dan penuh warna. Berdiri di tengah sungai,
saya bisa merasakan getaran ringan dari mata air yang menyentuh
telapak kaki. Saat menyelam, dunia bawah air membentang
Hak Asasi Manusia dan Agraria 173