Page 181 - Mozaik Rupa Agraria
P. 181
Perjalanan di Pinggir Sungai:
Catatan Kehilangan dan
Politik Agraria
Oleh: Wignya Cahyana
Bendera merah putih berkibar dengan gagah di puncak ilalang
yang bergoyang lembut oleh hembusan angin. Suasana waktu
itu menghadirkan kelembutan pada tanah yang masih basah
oleh embun pagi. Pinggiran sungai, yang belum tersentuh oleh
cahaya matahari, menyajikan gambaran gelap dan sunyi, seolah
tanpa penghuni. Namun, di gubug kecil di tepian itu, seorang
lelaki bernama Joyo Diguno tengah berdiam diri, sibuk dengan
urusan tanaman Gambir yang ditanaminya. Lembah terjal yang
membelah kota ini menjadi saksi bisu bagi kegiatan sepihaknya.
Lokasinya yang lebih rendah dari tanah kota membuat gubug
Joyo cukup terisolir dari hiruk-pikuk kehidupan perkotaan. Namun,
bukan tanpa alasan dia memilih penyendiran ini. Keyakinannya
pada Rikugun Nippon, yang dahulu ia anggap sebagai “saudara
tua,” runtuh tak bersisa setelah kejadian tragis yang melibatkan
adiknya. Joyo, yang kini hidup dalam pengasingan, mendapatkan
izin dari lurah setempat untuk mendirikan gubug, meskipun
harus berjanji agar tidak permanen. Alasan lurah yang terdengar