Page 182 - Mozaik Rupa Agraria
P. 182
seperti mantra, “Itu tanah pasirnya Sultan,” menjadi tameng bagi
Joyo.
Di sekeliling gubugnya, pohon bambu menjulang,
menawarkan teduh pada sungai yang menari pelan. Semak
Gambir menutupi tanah dengan rimbun, dan di antara dedaunan
terdengar gemerisik, memperingatkan akan kehadiran ular
air yang melintas. Suara nyamuk menggema di udara, sesekali
menyerang kulit tubuh dengan gigitannya yang menyengat. Di sisi
timur sungai, batu-batu nisan berdiri kokoh di antara gerumbul
rumput Alang-alang, menciptakan pemandangan yang angker.
Di sebelah barat, air tanah mengucur deras, menciptakan aliran
yang membelah ladang sampah yang dibuang sembarangan oleh
warga kota. Joyo, tak jarang, menemukan mayat bayi tergeletak di
tengah tumpukan sampah itu.
Setiap kali ia mengubur mayat kecil itu, Joyo merasa dirinya
seperti bayi yang ditinggalkan. Kehidupannya yang terpencil mirip
dengan deretan nisan di seberang sungai, di tanah buangan di
mana kematian dan kebusukan kota dikubur. Kenangan akan masa
lalunya memuncak saat ia mengingat gerombolan Macan Putih
yang merampas lahan sawahnya. Tuduhan palsu menyebabkan
kekayaan hasil keringatnya lenyap begitu saja. Setelah itu, ia baru
menyadari bahwa lurah yang mengutuknya sebenarnya kalah
dalam judi melawan Macan Putih. Sawah Joyo Diguno dicoret dari
buku tanah desa sebagai pembayaran atas kekalahan lurah dalam
permainan judi yang merugikan.
'''
“Merdeka!” pekik Joyo Diguno dengan semangat sebelum
mengayunkan kapaknya ke pohon Nangka yang berdiri kokoh.
Keputusannya untuk menebang pohon itu tidak semata-mata
Hak Asasi Manusia dan Agraria 169