Page 178 - Mozaik Rupa Agraria
P. 178
Ketahanan Keluarga
Banowati melarang keras Ragil dan teman-temannya untuk
nyanyi di room karaoke, meski ongkos room dan LC terbilang
murah, yaitu masing-masing Rp. 50.000 per jam/per orang (2020).
Ia bahkan memisahkan rumah tinggal dan rumah usaha agar
anaknya tidak terganggu kebisingan karaoke yang ia dirikan dan
kelola dengan modal sendiri itu. “Anak saya pernah protes dengan
kebisingan, padahal kamar pisah rumah. Ia biasanya belajar jam
19, tidur jam 21.” Banowati berharap masih bisa membuka bisnis
karaoke karena memulai usaha baru baginya sudah sulit.
Kunti juga melarang keras anaknya untuk mencoba narkoba
dan seks tidak sehat. “Cuma dia yang saya punya, saya sangat
menyayanginya. Saya ingin bisa modali anak saya buka kios
bensin, rokok, dan jual pulsa kalau sudah punya KTP,” tutur Kunti
sambil berharap ia segera sembuh dari penyakitnya, ia sadar tidak
bisa melarang anaknya karena ia hidup dari apa yang ia cemaskan.
Sarijan membatasi anak-anaknya untuk bergaul dengan anak-
anak LC maupun pengelola karaoke, meskipun anak-anaknya
berteman dengan siapapun dan bisa menjaga diri.
Ilyas menerangkan bahwa SD Negeri 2 Parangtritis dulu
menjadi sekolah anak-anak warga Grogol VII, VIII, IX, X hingga
Mancingan XI, namun seiring tumbuhnya bisnis karaoke dan
banyaknya anak-anak pendatang yang orangtuanya LC, pelaku
bisnis karaoke, PSK, maupun pekerjaan lainnya yang bersekolah
di SD tersebut, para warga asli mempertimbangkan untuk
menyekolahkan anak-anaknya di tempat lain agar anak-anaknya
terhindar dari pergaulan yang buruk.
“Karaoke itu tidak memberikan manfaat pada warga asli
sekitar. Pebisnisnya, pekerja, dan pelanggannya orang luar,
perputaran uang di Parangkusumo yang menikmati orang
luar. Mereka bukan warga kami” jelas Ilyas yang berharap ada
Hak Asasi Manusia dan Agraria 165