Page 175 - Mozaik Rupa Agraria
P. 175
“Sama-sama bekerja di industri hiburan, bar tender saja
tidak minum miras, tidak seperti LC. Karena tujuannya untuk
dieksploitasi, LC jadi pihak yang tidak berdaya, tidak bisa
melakukan posisi tawar, mudah dijadikan obyek seksual, apalagi
ekonominya lemah karena jadi korban gusuran, sehingga tidak
punya pilihan selain diperbudak, tidak bisa meminta hak-haknya,”
ujar Mariana Amiruddin, menerangkan bentuk eksploitasi
perempuan dalam bisnis hiburan di Parangtritis.
Ditemui di kantornya (2 Maret 2020), Arief Winarko,
Staf Lapangan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN)
menyatakan bahwa anak usia usia 0-18 tahun harus dilindungi.
Terkait keberadaan LC di bawah umur, kata Kunti pada tahun
2016 terjadi razia dan mereka dipulangkan ke daerah asal di luar
DIY. Media lokal sempat memberitakan hal itu dan dikutip dalam
laporan SKMM ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
menjelang peresmian SKMM pada Januari 2017.
“LC berumur 15-16 tahun juga pernah ada. Sekarang, LC harus
punya KTP,” ujar Kunti yang juga pernah menjadi LC dengan
penghasilan Rp. 25.000 per jam (2011), dari jam 18.00 hingga 03.00
WIB.
Arief Winarko membenarkan terdapat anak yang
dipekerjakan sebagai LC di Parangtritis pada 2016, saat SAMIN
melakukan investigasi bersama ECPAT (End Child Prostitution
in Asian Tourism) yang berbasis di Bangkok, Thailand. “Ada dua
anak, masing-masing 16 tahun, dari luar DIY” ujar Arief Winarko
(2 Maret 2020).
Arief Winarko menginformasikan, anak-anak itu dikoskan
di luar Parangtritis oleh pemilik karaoke, kebutuhannya dicukupi
namun dihitung sebagai hutang, mereka diupah Rp. 60.000- Rp.
200.000, memperoleh tips di luar tarif dari pelanggan, “LC anak
162 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang