Page 170 - Mozaik Rupa Agraria
P. 170
laundry (2019). Penyebab depresi Kunti ialah anak pertamanya
yang berusia 7 bulan diambil paksa keluarga suaminya untuk
diasuh iparnya. Ia lalu memutuskan meninggalkan suami, meski
memendam rindu pada anak pertamanya bertahun-tahun.
“Parangtritis itu tempat pelarian orang-orang bermasalah
yang masih ingin hidup, di sini latar belakang orang tidak
dipertanyakan. Status orang tidak jadi soal,” kata Kunti, tiga
bulan terakhir ia menjalani pengobatan herbal untuk memerangi
kista, usaha laundry terpaksa terhenti.
Kunti mengalami penggusuran Parangtritis pertama kali
tahun 2007 di sekitar Cepuri, sedangkan Karna menyaksikan
penggusuran 2010 dan 2016. “Tahun 2007 itu orang-orang teriak
‘garukan, garukan!’, kami ketakutan lari menyelamatkan diri
dari garukan (razia), ternyata itu gusuran,” Kunti mengenang
kacaunya situasi.
Menurut Kunti, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bantul
No 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten
Bantul menjadi momok bagi para PSK dan pemilik penginapan
untuk prostitusi. “Penghasilan saya 2001-2004 ada 3 juta per bulan,
2007 jadi 70 ribu per hari apalagi setelah Perda antiprositusi hanya
mengandalkan malam Selasa dan Jumat Kliwon, sejak 2019 jadi
200 per tiga hari,” pengakuan Kunti.
Penggusuran dan razia sangat berpengaruh bagi pendapatan
Kunti. “Pelanggan pijat dan cucian saya ya mbak-mbak LC (Lady
Companion atau pramuswara) itu, kalau karaoke sepi saya sulit
cari duit padahal saya sudah kapok jadi PSK atau LC, anak saya
makin besar, saya makin tua,” katanya, Kunti sebenarnya ingin
pulang kampung namun Karna ingin tinggal di Parangtritis. “Di
sini banyak teman dan bebas,” kata Karna yang berteman dengan
orang-orang dewasa.
Hak Asasi Manusia dan Agraria 157