Page 167 - Mozaik Rupa Agraria
P. 167
yang terkadang dibumbui prostitusi. Seiring waktu, Parangtritis
berkembang menjadi kawasan penginapan, bisnis hiburan malam,
dan atraksi di gumuk pasir. Pengembangan fungsi kawasan itu
disertai penggusuran yang mengorbankan penghidupan warga,
tak terkecuali kaum perempuan dan anak.
“Pengosongan; penataan; penertiban atau penggusuran di
Parangtritis sekurangnya sudah enam kali”, ujar Kawit (59) saat
ditemui di sela-sela meracik daging untuk mie ayam (25 Februari
2020).
Sejauh yang ia ingat, gusuran pertama; kedua dan ketiga tahun
2007. Pertama, 7 rumah digusur di Karangbolong. Kedua, kurang
lebih 100 rumah di timur sungai Parangkusumo yang saat ini jadi
relokasi Mancingan XI. Ketiga, kurang lebih 117 keluarga di barat
sungai Parangkusumo di sekitar Masjid Cepuri. Gusuran keempat
tahun 2009 di selatan petilasan Cepuri yang kini ditempati lagi
jadi warung-warung. Gusuran kelima tahun 2010, kurang lebih 150
KK di barat dan timur jalan menuju pantai Parangkusumo, tapi
dihadang warga. Terakhir 2016, sekitar 63 KK di zona inti gumuk
pasir.
Kawit tinggal di Parangtritis sejak 1999, saat itu Parangtritis
masih sepi dari hunian, hanya ramai pada malam Selasa dan
Jumat Kliwon, saat kegiatan ziarah disertai prostitusi berlangsung
di sekitar Cepuri.
“Anak-anak menangis karena sepulang sekolah tiba-tiba
tidak punya rumah. Orangtua mereka pingsan,” lanjut Kawit yang
berdagang mie ayam dengan penghasilan rata-rata Rp. 500.000
per bulan ini. Tahun 2007, mereka bertahan di tenda-tenda karena
relokasi belum ada.
“Desember 2016, saya kehilangan gubuk untuk tempat tinggal
sekaligus sanggar belajar anak-anak yang sudah berjalan sejak
154 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang