Page 169 - Mozaik Rupa Agraria
P. 169

Seingat  Kawit,  selama aktif di  SKMM,  Sadewa tampak
           sebagai anak cerdas, prestasi akademiknya di atas rata-rata, gemar
           membaca  dan jago matematika.  Namun,  penggusuran  telah
           mengubah batin dan hidup Sadewa.
               “Anak saya sekarang  tidak  mau  bicara  dengan sembarang
           orang, bicara cuma sama bapaknya, membatasi pergaulan, putus
           sekolah karena shock, minder, dan memperoleh perlakuan tidak
           menyenangkan di sekolah gara-gara penggusuran,” ungkap ayah
           Sadewa (25 Februari 2020).
               Seharusnya Sadewa duduk di kelas 9. Meski putus sekolah,
           Sadewa tidak putus belajar, ia berlatih membuat arang dari kayu
           yang  terdampar  di  pantai,  bikin  sumur pantek,  menyambung
           kabel,  dan pintu  sederhana.  Akibat penggusuran,  Sadewa kini
           menutup  diri  dan menyepi. Ekonomi keluarganya  terpuruk
           lebih dari 4 tahun, mereka harus bertahan dengan penghasilan
           maksimum 1 juta per bulan.
               Ayah Nakula dan Sadewa tidak berniat memindahkan anak-
           anaknya ke luar  daerah meski  terancam  penggusuran maupun
           dampak bisnis karaoke, “Parangtritis tanah kelahiran anak-anak
           saya. Kalau pindah, mereka bisa tidak mencintai tanah air.”
               Menurut Kawit, bagi keluarga miskin korban penggusuran di
           Parangtritis, pindah bukan perkara mudah.

               Dijumpai di rumahnya yang berdinding bambu (26 Februari
           2020),  Kunti (40)  hidup bersama  anak keduanya,  Karna
           (16),  yang ia  rawat  seorang  diri  karena  ayah biologisnya  tidak
           bertanggungjawab.  Postur  bongsor dan gestur  tubuh anak  itu
           menyamarkan usia sesungguhnya.

               Kunti  asli  Solo,  ia memulai hidup  di Parangtritis  sebagai
           Pekerja Seks Komersial  (PSK)  tahun 2001-2005  karena  depresi;
           pedagang  produk instan  (2006);  tukang  pijat  (2009-2018);  dan


           156    Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
   164   165   166   167   168   169   170   171   172   173   174