Page 174 - Mozaik Rupa Agraria
P. 174
Mariana Amiruddin menambahkan, kalau diperlakukan
terhormat, profesi ini tidak diperlakukan demikian. “Misalnya,
ada ketentuan LC dapat perlindungan jika tamu mengajak minum
sampai mabuk, karena itu berbahaya,” jelasnya, “karena tidak
dihormati maka LC tidak dilihat jam kerjanya, tidak dilihat kondisi
kesehatannya, bahkan diminta keluar kalau tidak mau melayani
konsumen, itu sama seperti sapi perahan. Itu eksploitasi.”
Kunti mengenang saudaranya, seorang LC yang sakit dan
tidak tertolong. “Famili saya mati muda, 19 tahun, anaknya
meninggal duluan karena gangguan pernapasan. Semasa hamil dia
masih giat jadi LC, tidak mau periksa meski kesehatan menurun
padahal Dinas Kesehatan menyediakan tes VCT (Voluntary
Counselling and Testing), jadinya tidak dapat ARV (antiretroviral).
LC kalau kerja selalu minum miras, ditambah asap rokok dalam
ruang tertutup ber-AC. Sini banyak LC yang tetap kerja pas hamil.”
Banowati membenarkan ada LC bekerja dalam keadaan
hamil, “LC yang hamil biasanya berhenti kerja saat hamil 7 bulan,
nanti setelah melahirkan jadi LC lagi. Semua risiko kesehatan
yang tanggung LC sendiri, termasuk denda Rp. 500.000 kalau
terjaring garukan”.
Terkait LC yang bekerja dalam kondisi hamil dan dikondisikan
minum miras, menurut Komisi Nasional Perempuan RI hal
itu pelanggaran yang lebih berat terhadap LC. “Saat LC hamil,
siapapun tahu perempuan dalam kondisi hamil harus mendapat
perlindungan dan jaminan kesehatan. LC punya hak untuk cuti,
istirahat, memikirkan kesehatan karena ia harus melahirkan
generasi manusia,” tutur Komisioner Komisi Nasional Perempuan
ini.
Menurutnya. apa yang terjadi di bisnis karaoke Parangtritis
adalah bentuk eksploitasi terhadap perempuan karena perempuan
jadi tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai ibu.
Hak Asasi Manusia dan Agraria 161