Page 190 - Mozaik Rupa Agraria
P. 190

rumah sendiri. Inilah ironi perjalanan hidup, di mana satu generasi
           terpaksa melepaskan kekayaan yang telah diwariskan oleh generasi
           sebelumnya. Awalnya, aku berpikir bahwa ayahku masih memiliki
           sebidang tanah di desa yang mungkin bisa ditempati oleh kakak
           sepupuku. Namun,  kenyataannya menyakitkan.  Ayahku  sudah
           menjual  tanah itu  untuk membiayai  sekolahku,  membebaskan
           diriku namun mengurung kakak  sepupuku  dalam kepiluan
           kehidupan yang baru.

                                      '''
               Cerita  yang  menggambarkan  kehidupan  di  pinggir  sungai
           ini tidak hanya menjadi catatan pribadi tentang kehilangan dan
           perubahan hidup seorang anak, tetapi juga mencerminkan realitas
           politik agraria yang kompleks dan tak jarang penuh kontradiksi.
           Di balik keindahan sungai dan kenangan manis anak-anak di sana,
           tersembunyi narasi pahit mengenai hak atas tanah dan perubahan
           lahan yang mungkin sering terjadi di berbagai wilayah.
               Pertama-tama,  cerita mencerminkan bagaimana kebijakan
           pemerintah  dalam  penataan  tanah bisa berdampak besar  pada
           kehidupan masyarakat. Pencabutan hak tanah untuk kepentingan
           pembangunan,  seperti  pembangunan  hotel dalam cerita,  tidak
           hanya merugikan  secara materi,  tetapi juga mengakibatkan
           kehilangan hak berkesinambungan dan koneksi emosional dengan
           tanah leluhur. Hal ini menggambarkan bahwa politik agraria yang
           tidak berpihak kepada masyarakat dapat menghancurkan struktur
           sosial dan lingkungan yang sudah ada.

               Kemudian, terdapat juga peran kebijakan pembangunan kota
           yang mungkin kurang memperhatikan aspek keberlanjutan dan
           keadilan. Pembangunan infrastruktur yang terkesan mengabaikan
           hak masyarakat lokal, seperti yang terlihat dari rumah Pakde Joyo
           Diguno  yang harus  dirobohkan,  menciptakan ketidaksetaraan
           dan ketidakpastian  di  kalangan masyarakat.  Hal ini menjadi


                                          Hak Asasi Manusia dan Agraria  177
   185   186   187   188   189   190   191   192   193   194   195