Page 284 - Mozaik Rupa Agraria
P. 284
Saat saya SMP, guru SLB saya memberi tahu bahwa saya buta.
Untuk pertama kalinya, saya merasa berbeda karena dibedakan.
Saya tanya, apa itu buta? Dijawab, buta itu cacat. Apa itu
cacat buta? Katanya, tidak bisa melihat. Saya tanya lagi, tidak bisa
melihat itu bagaimana? Guru saya tidak bisa menjelaskan, dia
hanya bilang kalau jalan meraba-raba.
Apakah teman-teman saya kalau jalan tidak meraba-raba?
Bagaimana bisa mereka tidak menabrak dinding atau terjerumus
lubang kalau tidak meraba-raba?
Saya jadi bingung dengan keadaan saya. Waktu itu, saya
bertanya pada diri sendiri, apakah karena saya berbeda maka
saudara-saudara saya tidak menerima saya? Apakah karena saya
berbeda, saya lalu disembunyikan saat ada tamu datang? Mengapa
orang-orang seperti saya sulit diterima dan mudah diabaikan?
Saya jadi tahu, sebutan buta dan pengertiannya ditentukan
oleh mereka yang tidak pernah buta.
Pantas saja giliran mereka dimintai tanggungjawab
menjelaskan maksudnya, mereka malah tidak bisa. Saya sudah
diperlakukan tidak adil. Di usia belia itu, saya ada pikiran untuk
mengakhiri hidup.
Perlahan, saya belajar menerima keadaan bahwa saya tidak
bisa melihat pakai organ yang bernama mata. Sebagai gantinya,
saya melihat dengan jari, telinga, hidung dan lidah.
Saya tahu suatu ruangan sempit atau luas dari gaungnya. Saya
tahu posisi benda dan jalan menuju rumah dari perabaan. Saya
mengenal orang dari aroma badan.
Bahkan, akhirnya saya mengenali warna dari rasanya, misalnya
kuning rasanya seperti kunyit, hijau rasanya seperti daun papaya
Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 271