Page 285 - Mozaik Rupa Agraria
P. 285
mentah, merah rasanya seperti buah naga, biru rasanya seperti
bunga telang.
Selama saya bersekolah saya belajar membaca dan berhitung.
Huruf dan angka menggunakan braille. Membaca braille itu tidak
perlu menghafalkan bentuk huruf. Cukup dihafal lokasi titik
timbul dan kombinasinya. Angka braille ada, huruf Arab braille
ada, tanda baca braille ada, bahkan morse braille juga ada.
Dulu saya mampu membedakan uang kertas karena ada
pembedanya. Tetapi sekarang uang kertas sama saja. Lama-lama
karena teknologi makin canggih, braille jarang digunakan, apalagi
oleh generasi sekarang. Semua beralih ke pembaca layar.
Termasuk saya juga menggunakan pembaca layar untuk
memesan dan membayar ojek online, membaca berita, jual beli
barang, berkomunikasi dengan pelanggan, dan ngobrol dengan
teman tuli tanpa saya harus belajar bahasa isyarat terlebih dahulu.
Meskipun kini akses informasi dipermudah, saya tetap
menggunakan braille karena itu melatih kepekaan perabaan. Saya
tidak setuju kalau ada yang bilang braille ketinggalan jaman.
Belajar membaca huruf braille itu mengasah ingatan. Dan,
tuna netra sangat mengandalkan ingatan. Tanpa ingatan yang
kuat kami sulit menjalani hidup.
Tetapi mempunyai ingatan yang kuat juga menderita.
Kenapa? Karena saya jadi susah lupa hal-hal yang menyakitkan.
Disabilitas sering memperoleh perlakuan yang tidak layak.
Tuna netra sering dimanfaatkan secara tidak adil, dimintai
KTP jelang pemilu tanpa tahu untuk apa, diminta cap jempol
kompensasi kehadiran tanpa diberitahu jumlahnya, dibekali
keterampilan tanpa manajemen, dilibatkan dalam kegiatan tetapi
tidak menjadi berdaya, diminta tanda tangan daripada cap jempol
272 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang