Page 467 - Mozaik Rupa Agraria
P. 467
yang telah dimulai sejak tahun 1905 dengan upaya yang dilakukan
oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memindahkan kelebihan
populasi dari Jawa ke pulau-pulau di luar Jawa yang kemudian
dilanjutkan sampai saat ini dalam program nasional Indonesia
yang mengirimkan ribuan keluarga setiap tahunnya. Dalam
periode ini, program transmigrasi menjadi subjek dari tujuan
yang terlalu ambisius dan tidak realistik yang dipengaruhi oleh
berbagai krisis internal yang terjadi dan harus dihadapi Indonesia
melalui kebijakan pembangunannnya. 5
Skema pemukiman kembali dalam transmigrasi melibatkan
pemukiman kembali orang Jawa, kelompok yang jumlahnya
paling besar dan secara politis merupakan kelompok yang
memiliki budaya sentral di seluruh kepulauan yang ada di
Indonesia. Meskipun transmigrasi dikenal sebagai proyek
demografi yang bertujuan untuk menyelesaikan ketidakmerataan
pembangunan di Indonesia, signifikasinya secara politik dan
kultural terletak pada merelokasi pemerintahan Jawa untuk
merepresentasikan kehadiran negara di wilayah-wilayah yang jauh
dan terpencil atau juga dikatakan bahwa pemukiman kembali
petani transmigran Jawa yang miskin sebagai kehadiran ‘pusat’
di ‘pinggiran’. Dalam konteks inilah, transmigrasi kemudian
disebut sebagai ‘homogenisasi spasial’. Berbagai bentuk resistensi
terhadap program transmigrasi muncul. Kondisi ini yang
kemudian menjadi semacam katalis dengan munculnya tuntutan
mengenai perbedaan etnik dan otonomi budaya. Sebagaimana
disebutkan Elmhirst, mempertanyakaan kembali nation-building
pascakolonial dan kebangkitan kembali identitas budaya di
Indonesia merupakan bagian yang sangat penting dalam program
transmigrasi yang kontradiktif bergema secara politis dan budaya
di seluruh Indonesia.
5 Lebih lanjut lihat MacAndrews. 1978. “Transmigration in Indonesia: Prospects and Problems”.
Asian Surrvey, Volume 18, No. 5, May, pp 458.
454 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang