Page 122 - Kembali ke Agraria
P. 122
Kembali ke Agraria
bagi yang hak atas lahannya dialihkan atas permusyawaratan yang
beradab untuk kepentingan publik; dan (3) terbebas dari segala tindak
kekerasan ketika terjadi konflik penguasaan dan pengelolaan lahan.
Untuk itu, pemerintah dan aparatusnya hendaknya menggunakan
makna asli dari kata “penertiban”, yakni suatu usaha menempatkan
penduduk miskin sehingga mendapat tempat tinggal yang lebih aman
dan layak.
Ketiga, gagasan untuk memanfaatkan lahan-lahan “tidur” yang
diterlantarkan oleh para pemiliknya potensial untuk diabdikan bagi
kepentingan kaum miskin kota sangat layak untuk dijalankan. Lahan
terlantar yang berada di sekitar kota Jabotabek hendaknya dijadikan
objek redistribusi bagi mereka yang membutuhkannya—menurut data
olahan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berjumlah ribuan hek-
tar. Lahan terlantar itu bisa diprioritaskan untuk digunakan sebagai
kawasan pemukiman kaum miskin dan lahan pertanian bagi kaum
tani tak bertanah di sekitar perkotaan.
UU Pokok Agraria 1960 yang berwatak populis masih relevan
untuk dijadikan rujukan dalam penyediaan tanah untuk kaum mis-
kin. Adapun Keppres No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan, dan Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan SDA dapat menjadi payung (politik) hukum
yang sah bagi pemerintah dan rakyat termasuk kaum miskin kota,
untuk mendorong “dibangunkannya” lahan yang telah “tertidur”
pulas selama ini.
Pembaruan agraria
Menyelesaikan persoalan kaum miskin dan kemiskinan di kota
tidak bisa dilepaskan dari usaha menyelesaikan masalah yang
berkembang di pedesaan. Dalam wacana mengenai orientasi, model
dan strategi pembangunan pedesaan yang dikenal luas, pelaksanaan
Pembaruan Agraria merupakan pilihan paling tepat. Pembaruan
agraria (reforma agraria) merupakan fondasi yang kokoh bagi
pembangunan sosial.
103