Page 233 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 233

Ekonomi Keruk, Krisis Sosial-Ekologis, dan  223
                                                                                                           Perlawanan Rakyat di Kalimantan Selatan



               Sungai Salajuan serta penyediaan sumur pompa, sarana kesehatan, uang ganti rugi kebisingan dan debu Rp.100.000/bulan
               selama delapan tahun, rekrutmen tenaga kerja dari warga setempat, dan menutup bak-bak truk dengan terpal atau plastik
               untuk meminimalkan debu batu bara.


               Pertemuan itu ternyata menemui jalan buntu. Sayangnya, kebuntuan itu disebabkan kurang kompaknya warga Simpang
               Empat Sumpol sendiri. Waktu itu, Pak Ujang (tuan rumah) meminta warga dalam menyampaikan keluhannya tidak emosi.
               Karena permasalahan dan kesepakatannya masih sedang dibicarakan. Rupanya sebagian warga menanggapi lain ucap Pak
               Ujang itu. Lantas terjadilah aksi walk out (keluar dari ruangan) oleh sebagian warga. Kemudian dilanjutkan dengan aksi
               blokade (“tutup gawang” istilah mereka) terhadap truk-truk batu bara. Suasana pun seketika berubah menjadi tegang.

               Beberapa tokoh masyarakat kemudian melakukan pembicaraan dengan Kapolsek, Danramil dan Camat. Keputusannya;
               kembali diadakan rapat. Setelah melalui pembicaraan yang cukup alot, pihak perusahaan akhirnya bersedia mengabulkan
               semua tuntutan masyarakat. Namun dengan syarat, ada bukti yang menyatakan bahwa PT Arutmin memang bersalah.

               Maka dibentuklah tim dari beberapa lembaga independen, yakni Walhi Kalsel, Pro LH, unsur Muspika, Kabag LH Tk II
               Kotabaru, untuk mengumpulkan data-data dan bukti “dosa-dosa” perusahaan penambangan emas hitam itu. Pada 10 Juni
               1999, langsung diadakan rapat kerja di PPLH Unlam Banjarbaru .

               Dalam pertemuan itu diputuskan menggali keluhan-keluhan masyarakat Simpang Empat Sumpol terhadap permasalahan
               truk-truk batu bara Arutmin selama beroperasi. Puskesmas setempat juga dilibatkan mendata jumlah masyarakat yang
               pernah berobat akibat polusi batubara. Mengapa dalam pertemuan itu tidak membahas masalah teknis? Hal itu memang
               sengaja tidak dilakukan. Karena kasusnya sudah lama terjadi, dan ada kemungkinan pihak Arutmin juga akan melakukan
               langkah pengurangan kebisingan dengan menyuruh sopir-sopir angkutannya untuk menjalankan truknya secara perlahan
               saat melalui pemukiman penduduk, serta melakukan penyiraman jalan lebih sering lagi. Belakangan hari, perkiraan ini
               ternyata benar. Terhitung sekitar tiga bulan berikutnya, hampir setiap waktu jalan-jalan disiram perusahaan.  Bak-bak truk
               sudah banyak yang ditutup. Kebisingan klakson pada waktu malam berkurang. Beberapa warga pun mengakui perubahan
               itu. “Tapi masalahnya sekarang, jalan-jalan malah menjadi becek. Dan banyak yang mengeluh sandalnya pagat (putus,
               red),” tutur seorang warga.


               Tanggal 15 Juni 1999, Tim lapangan Walhi Kalsel bersama masyarakat mendiskusikan pengumpulan data keluhan itu. Ketika
               diputuskan, bahwa bagi yang mempunyai keluhan agar menuliskannya dalam selembar kertas lengkap dengan keterangan
               diri, warga pun dengan bersemangat menyambut carikan-carikan kertas yang diberikan. Bagi yang pernah berobat di pus-
               kesmas, pendataan dibantu oleh pihak puskesmas sendiri.  Hasilnya, dari 213 responden yang menuliskan keluhan, kebi-
               singan menempati urutan pertama, yakni sekitar adalah 78%, dengan rincian,  polusi udara 73%, kesehatan terganggu
               67%, kesulitan air bersih 43%, sakit mata 21%, sesak napas 10%, dan yang batuk-batuk 5%.

               Hasil pengumpulan data tersebut kemudian diserahkan kepada pihak PT Arutmin bersama dengan warga masyarakat dan
               unsur Muspika. Namun PT Arutmin tidak terima dengan hasil data tersebut. Alasannya, data itu hanya melihat pada sisi
               keluhan masyarakat saja dan bukan pada permasalan teknisnya. Melihat gelagat itu, masyarakat kembali bereaksi. Turun ke
               jalan, “tutup gawang”. Untuk memecahkan kebuntuan itu, tim kerja kerja II dibentuk lagi untuk mengumpulkan data yang
               lebih akurat. Hasilnya, secara teknis pihak PT Arutmin memang terbukti bersalah melakukan pencemaran Sungai Salajuan,
               menimbulkan kebisingan, serta polusi udara yang mengakibatkan kesehatan penduduk terganggu.
   228   229   230   231   232   233   234   235   236   237   238