Page 228 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 228
218 Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
Megaproyek MP3EI Bekerja?
Barata Mining, PT Ekasatya Yanatama, PT Lianganggang Cemerlang, PT Sinarindo Barakarya, PT Adibara Bansatra, PT Bukit
Kalimantan Indah, PT. Senamas Energindo Mulai, PT. Kalimantan Energi Lestari.
Setelah reformasi 1998, Antara 1998 hingga 2000, sebelum otonomi daerah, pemerintah pusat masih mengeluarkan 37
buah ijin Kuasa Pertambangan baru. Luasannya mencapai 131.258 ha. Ada perbedaan cukup besar tentang skala, juga
kebijakan di masa sebelum dan sesudah otonomi daerah tahun 2001. Sejak Dirjen Pertambangan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 75/2001, kewenangan mengeluarkan perijinan Kuasa Pertambangan (KP) diberikan kepada bupati.
Model tambang skala kecil, yang sudah dikembangkan sejak 1990, dikuatkan melalui Keppres RI No. 127 tahun 2001
tentang Bidang atau Jenis Usaha yang dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/ Jenis Usaha yang terbuka untuk usaha
menengah atau besar dengan syarat kemitraan. Salah satu kegiatannya adalah pertambangan skala kecil. Inilah salah satu
pendorong pesatnya ijin kuasa pertambangan di masa otonomi daerah. Berbagai kemudahan ditawarkan, salah satunya di
Kalimantan Selatan. Pemda memberi fasilitas jalan negara menjadi jalan angkut batu bara. Sejak itu setiap kabupaten di
Kalimantan Selatan mengobral IUP. Banyak yang berukuran kecil sekitar 100 hektar.
Tiga tahun lalu saja, enam bupati di Kalimantan Selatan mengeluarkan ijin Kuasa Pertambangan (KP) untuk 326 perusaha-
2
an. Namun data mengenai siapa, berapa luasan dan dimana lokasi pertambangannya, sulit untuk diperoleh. Menurut Dinas
Pertambangan Propinsi, bulan November 2004 sedikitnya ada 267 perusahaan telah mendapat izin KP. Dan hingga akhir
2007, untuk perijinan Batubara saja sudah terdapat 3 perusahaan pemegang Kontrak Karya, 23 perusahaan pemegang
PKP2B, dan 625 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). 3
Selain ratusan IUP diterbitkan para Bupati, penambangan batu bara tak berijin, atau dikenal dengan istilah PETI (Penam-
bangan Tanpa Ijin), marak terjadi. Skala operasinya beragam dan yang pasti, jumlahnya sulit dihitung. Salah satu sumber
memperkirakan pada tahun 1997, jumlah PETI batu bara mencapai 197 buah. Angka itu naik terus dari tahun ke tahun.
4
Pada 2000 jumlahnya menjadi 445 unit, empat tahun berikutnya menjadi 842 unit. Kebanyakan PETI dilakukan pada lokasi-
lokasi dengan kemudahan akses transportasi dan pemasaran. Di lapang, sulit memisahkan penambangan yang berijin dan
yang tidak. Kadang PETI dan perusahaan yang berijin berkolaborasi. Setidaknya, hasil dari kegiatan penambangan PETI di
jual ke para pengusaha yang berijin angkut dan mengapalkan batu bara.
Tambang skala besar berizin PKP2B dinilai sedikit memberikan kontribusi kepada daerah. Oleh karenanya, pada 2003,
Bupati Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), memutuskan melakukan moratorium atau penghentian sementara pertam-
bangan batubara bagi perusahaan PKP2B yang telah berproduksi. Langkah ini ditentang Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral. Menurut Bupati, pertambangan oleh perusahaan legal maupun ilegal sudah merusak lingkungan dan sarana
publik, seperti pembangunan jalan.
Kerusakan Sosial-Ekologis dan Ragam Perlawanan Rakyat
Di kawasan sekitar pertambangan batubara di Kalimantan Selatan, orang mengenal istilah Jerat. Ini istilah yang digunakan
oleh penduduk untuk memaksa perusahaan memberi ganti rugi terhadap rumah atau tanah yang akan digusur. Mereka pa-
ham, jika tambang skala besar masuk, mereka akan miskin dan lingkungan sekitar mereka rusak. Air jadi susah di dapat,
lahan dan perumahan tergusur. Jika ada perusahaan tambang masuk, warga berupaya membangun rumah cepat atau
fasilitas lainnya di jalur atau kawasan yang akan digunakan perusahaan. Ini adalah siasat mereka untuk mendapat ganti rugi