Page 223 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 223
“Tana Mera” di Dalam Teluk: 213
Pertambangan Nikel dan Penghancuran Teluk di Halmahera
setelah dibeli oleh perusahaan uangnya dipakai untuk minum-minuman keras”. Di Buli , eforia pembebasan lahan terjadi
pada tahun 2002. Dari hasil wawancara dengan salah satu tokoh pemuda di desa Buli Asal, menceritakan bagaimana
kondisi perekonomian warga desa Buli Asal mengalami perubahan drastis. Orang-orang mulai membeli mobil, ada juga yang
uangnya habis berfoya-foya, eforia pembebasann lahan yang kuat di desa Buli Asal membuat masyarakat tidak lagi
memanfaatkan sumber-sumber agraria lainnya entah itu di laut dan hutan. Berikut ini pernyataannya:
“Tahun 2002, 2004, 2008 itu tahun-tahun orang-orang disini yang memperoleh biaya pembebasan lahan dari PT.
Yudistira... Pembebasan lahan itu bisa sampai milyaran, ada satu orang di desa ini dia peroleh hingga 1 milyar
lebih, pada tahun 2010, tahun 2008 itu rata-rata 500 juta hingga 400 juta. 2002, 2004, 2008, 2010, itu tahun-
tahun pembebasan lahan di Desa Buli Asal empat tahapan. Orang yang menerima biaya pembebasan ada yang
buat beli mobil dan dijadikan mobil rental, namun ada juga yang uangnya habis dengan hura-hura hingga membi-
ayai anak sekolah pun tak bisa. Mungkin saja tidak pernah lihat uang sebanyak itu”.
Tarik menarik harga seringkali terjadi antara masyarakat dengan perusahaan tambang, proses tawar menawar ini sering
dilakukan oleh masyarakat melalui cara aksi turun jalan hingga boikot jalur transportasi perusahaan. Pada tahun 2008
proses boikot jalan besar-besaran oleh masyarakat Buli Asal karena lahan kaplingan warga yang banyak dimiliki oleh pen-
duduk Buli Asal belum juga terbayarkan. Proses pemboikotan ini melibat ibu-ibu rumah tangga bahkan anak-anak, tokoh
pemuda ini juga terlibat dalam aksi-aski tersebut, dan aksi mereka akan berakhir jika uang dari pembebasan lahan telah
direalisasi oleh perusahaan tambang, berikut kesaksiannya.
“Tahun 2004 saya pernah memimpin pemboikotan jalan milik perusahaan karena belum membayar biaya pembe-
basan lahan, selain itu juga mereka merusak jalan di kampung dengan kendaraan berat mereka yang masuk.
Pernah kami merampas kunci-kunci mobil berat (eksafator), orang-orang berpengetahuan di kampung seperti
mahasiswa atau sarjana-sarjana lainnya awalnya mereka begitu getol menyuarakan aspirasi rakyat ini di atas truk
dengan orasi mereka, namun setelah mediasi dengan perusahaan sering mereka main belakang layar. Saat itu,
harga lahan Rp.2.500/meter yang ditawarkan perusahaan tambang Yudistira menurut kami itu tidak adil, kepemi-
likan lahan oleh perusahaan yang nanti kami berikan, itu kan tidak bisa dikembalikan lagi, dan menurut kami harga
seperti itu membodohi kami. Perusahaan ini juga akan berjalan puluhan tahun, bukan setahun atau dua tahun”.
Hilangnya tanah dan uang pembebasan lahan merupakan cerita yang mudah diperoleh di desa-desa Halmahera Timur.
Perkebunan kelapa milik warga di Desa Buli Asal sudah tidak lagi diproduksi, bahkan tanah untuk mengarap sudah mulai
hilang. Saat dibaginya uang pembebasan lahan banyak orang-orang di Desa Buli Asal yang memiliki banyak uang sehingga
bisa membeli mobil untuk digunakan sebagai mobil taksi perjalanan Buli-Soffi. Tetapi ada pula mereka yang memperoleh
uang hingga ratusan bahkan milyaran rupiah, namun tidak mampu menyekolahkan anak mereka. Uangnya habis dihambur-
kan hingga ke Ternate-Tobelo, bahkan Manado.
Mekanisme ekonomi uang begitu kuat bermain di komunitas masyarakat yang berada di kawasan- pertambangan. Cerita
ketersediaan layanan alam telah berganti gunung-gunung yang botak. Pandangan ini mudah anda peroleh saat anda berada
dan duduk di pesisir Teluk Buli, atau saat pesawat anda mendarat di Bandara Buli yang berada di Desa Pekaulang.
“Tahun 1993-1998, Teluk Buli diramaikan para nelayan bagan ikan “ngafi” atau ikan teri. Malam hari di lautan Teluk Buli
seakan sebuah kota yang penuh dengan gemerlap-gemerlip lampu”, tutur seorang guru yang juga anak kampung di Desa