Page 219 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 219
“Tana Mera” di Dalam Teluk: 209
Pertambangan Nikel dan Penghancuran Teluk di Halmahera
Di dalam kotak merah itulah terletak
citra satelit yang ditampilkan diatas.
Pulau Gee dan Tanjung Moronopo.
Saat ini dari penelusuran ke lapangan,
di Kabupaten Halmahera Timur
terdapat sebaran 41 pulau-pulau kecil.
dan 4 antaranya sudah tereksploitasi
kegiatan pertambangan yaitu, Pulau
Pakal, Pulau Gee, Pulau Mabuli, dan
Pulau Mobon. Dan semua Pulau Kecil
itu terletak teluk Maba. Kondisi yang
serupa juga di temui di beberapa
tempat lain di Pulau Halmahera,
seperti di Weda, yang di keruk oleh PT
Weda Bay Nickel.
Foto di atas adalah tampakan Bukit Moronopo di Tanjung Moronopo. Tempat ini menjadi salah satu wilayah tangkapan air di
bagian atasnya, dan beberapa sungai kecil mengalir mengikuti kontor bukit ini hingga ke laut. Bukit Moronopo juga terletak di
Maba, berdekatan dengan Pulau Gee. Secara ekologis, dari penelusuran tim penelitian Sajogyo Institute pada Februari 2012,
wilayah ini dan Pulau Gee saling memiliki keterkaitan fungsi ekologis. Karena aliran air dari tanjung ini langsung ke perairan
lepas yang membuat air di sekitar pulau Gee menjadi merah. Berikut akan ditampilkan peta dari kawasan ini.
Apa yang terjadi pada orang-orang yang menetap di sekitar tempat-tempat tambang nikel itu? Dari temuan lapangan yang
kami dapatkan ada beberapa isu penting yang menjadi masalah bagi masyarakat.
Pertama, soal pangan. Walaupun persoalan pangan ini telah jadi masalah lama sejak dimulainya kampaye makan beras oleh
pemerintah orde baru pada tahun 80-an, tetapi waktu itu masyarakat di sekitar Buli masih mempertahankan Doro Sagu –
wilayah tumbuhan sagu yang boleh dipanen oleh masyarakat sekitar dan di jaga bersama. Tetapi sejak tambang masuk
tahun 2000, doro-doro sagu yang ada di bagian hilir bukit menjadi kekurangan air, hal ini membuat tumbuhan sagu menjadi
kering dan mati. Sejak 10 tahun terakhir ini hampir semua orang di Maba, adalah pemakan beras yang didatangkan dari
Tobelo dan dari wilayah transmigrasi di Wasile. Begitupun dengan kebutuhan protein yang selama ini mereka gantungkan
dari laut, sejak tambang beroperasi, kebanyakan nelayan mengeluh karena air laut keruh akibat tambang nikel, jikapun ada,
mereka harus melaut agak jauh ke lepas pantai yang tentu saja beresiko dengan perahu sederhana dan memakan biaya
bahan bakar yang mahal. Akhirnya, jika saat ini orang mengunjungi Pantai di Maba, tidak ada bau ikan yang anyir khas
desa-desa pantai di Indonesia. Pesisir laut desa Maba Pura tidak lagi menyediakan ikan. Seorang nelayan di desa Maba
Pura menceritakan sebagai berikut:
“Air di Teluk Buli sudah merah. Saya juga pernah ikut orang basoma dan kalau kita buang soma, tarik jala, semua
merah. Kalau musim ombak terlihat air sudah merah karangnya mungkin sudah tidak ada. Pada suatu malam kita
mencari udang, dengan memasang bubuk dan tidak dapat udang. Banyak udang-udang yang mati. Laut
sebelumnya menyediakan ikan yang banyak sebagai pelengkap makan siang atau malam, kini harus dibeli bahkan
mengganti-kannya dengan daging ayam yang disediakan di warung makan atau beli sarden di warung.”