Page 221 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 221
“Tana Mera” di Dalam Teluk: 211
Pertambangan Nikel dan Penghancuran Teluk di Halmahera
Pendapatan yang diperoleh dari menjajakan batu ini tergantung dari
para pembeli. Rata-rata batu yang dijajakan para perempuan tersebut
dibeli untuk kebutuhan bahan konstruksi jalan dan bangunan. “Batu-
batu ini jual ret, satu ret (sekitar 20 karung) itu Rp. 450.000. Batu-
batu ini torang toki kacil-kacil sampai dapa 260 karung. Itu kerja
selama 5-6 hari”, tutur Ibu Rosa saat saya menanyakan pendapatan
dan cara kerja yang dilakoni hampir sebagian perempuan dan ibu-ibu
di Desa Wailukum.
Kebun yang sudah digusur dan laut yang tidak lagi ada ikan adalah
alasan kenapa sampai Ibu Rosa dan para perempuan di Desa
Wailukum bekerja sebagai pemecah batu. Sebelumnya Ibu Rosa punya
perkebunan kelapa yang berada di belakang desa. Namun karena
kebutuhan jalan untuk perusahaan tambang dan infrastruktur
pendukung aktifitas pemerintahan di Maba, Ibu Rosa melepaskannya.
Gambar 3: Ibu Rosa, salah satu perempuan di Buli yang bekerja sebagai pemecah batu.
Asumsi Ibu Rosa melepaskan tanahnya, hanya semata-semata untuk Foto: Fahruddin Maloko.
mendukung jalannya”pembangunan“. Bakabong pemalas abis dorang
gusur samua torang punya kelapa, kelapa babua dorang gusur. Gusur
itu untuk jalan tambang dan jalan kabupaten”, ungkap Ibu Rosa
dengan nada menekan dan sedikit marah.
Ketiga, Berubahnya urusan hubungan sosial orang-orang di sekitar tambang akibat berubahnya sistem kepemilikan tanah.
Ketika Tambang masuk, mereka membutuhkan cara bagaimana untuk dapat mengambil alih lahan-lahan yang dikuasai
dalam berbagai bentuk sistem kepemilikan di wilayah Maba. Sejak lama, orang di maba dan sekitarnya mengenal kepemilik-
an pribadi, tetapi semua orang dapat memanfaatkan nya bagi kebutuhan-kebutuhan harian. Dan kebanyakan wilayah tidak
4
di klaim sebagai punya pribadi tetapi sebagai milik institusi adat. Antam mengerti betul bagaimana cara mengambil tanah-
tanah ini, yaitu dengan menyiramkan uang cash ke kantong orang-orang di sekitar Buli.
Apa yang terjadi dengan pembebasan melalui pembayaran uang cash ini? Orang-orang di Maba, dan bahkan dari luar Maba,
datang ke wilayah itu untuk mengkapling tanah-tanah yang “katanya” belum ada pemilik itu. Inilah yang dikenal di Buli
dengan nama Pengkaplingan, yaitu suatu aktivitas untuk menandai dengan mencat pepohonan dengan warna tertentu atau
mematok suatu kawasan tertentu, dan nanti disampaikan proposalnya ke Antam untuk mendapatkan ganti rugi.
Kegiatan pengkaplingan ini kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih parah. Misalnya, cerita yang kami dapatkan di
Tanjung Moronopo, wilayah ini awalnya hanya di tumbuhi oleh semak dan tanaman asli disini, ada beberapa baris pohon
kelapa, dan pohon Pala yang sudah sangat tua. Ketika Antam mengeluarkan hasil riset eksplorasinya tahun 2001 orang-
orang mulai terkejut, Antam akan berikan uang ganti rugi ke siapa? Mulailah masyarakat sekitar melakukan aktifitas pertani-
an di pulau itu, menanam seadanya dengan cara menanam yang asal-asalan, dan membuat patok-patok batas penguasaan
berdasarkan penggarap. Pada akhir 2002, seorang pejabat daerah di Haltim mengumpulkan para penggarap “dadakan” ini,
dan memberikan uang sebagai ganti rugi atas tanah yang mereka garap, pejabat pemkab Haltim ini dianggap masyarakat
sebagai perantara antam dan penggarap. Dan akhir 2003, Antam mulai beroperasi Moronopo, dan uang ganti rugi telah
diberikan kepada si pejabat pemkab. Dari data yang kami dapatkan, masyarakat hanya mendapat ganti rugi Rp 5000/M dari
pejabat pemkab, sementara Antam memberikan ganti rugi sebanyak Rp 200.000/M kepada pejabat pemkab.