Page 220 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 220

210     Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
               Megaproyek MP3EI Bekerja?



                                   Tahun 2009 World Food Programme yang berkerja sama dengan Kementerian Pertanian RI, merilis sebuah peta ketahanan
                                   dan kerentanan pangan di Indonesia. Studi itu menunjukan bahwa Halmahera Timur merupakan wilayah yang bermasalah
                                   atas ketersediaan pangan dan air bersih. Kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan ikan teri pada komunitas di Teluk
                                   Buli di desa Wailukum, Soa Gimalaha, Sangadji (Maba), Soa Laipo, Soa Sangadji (Maba Pura) adalah bagian dari pola peru-
                                   bahan produksi dan konsumsi masyarakat yang mengancam aspek keselamatan rakyat, utamanya ketersediaan pangan dan
                                   air.

                                   Kedua. Berubahnya mata pencaharian masyarakat. Layanan alam di laut yang tidak lagi berlanjut pada gilirannya memutus-
                                   kan rantai produktivitas masyarakat di Teluk Buli. Hilangnya ketersediaan sumber-sumber laut di Teluk Buli ini, membuat
                                   banyak orang di Desa Buli bekerja sebagai pekerja lepas di perusahaan tambang, walaupun dengan penghasilan yang kecil
                                   dan ketidakjelasan status ketenagakerjaan. Alih profesi ini dilakukan semata-mata sebagai pemenuhan ekonomi, terutama
                                   kebutuhan ekonomi uang. Saat memulai eksploitasi di Pulau Gee tahun 2002 PT. Antam dalam sosialisasinya terus menutur-
                                   kan tentang kesejahteraan, kemajuan ekonomi, pendidikan yang tinggi, kelancaran transportasi, jalan mulus dan lain seba-
                                   gainya, mereduksi pola pikir masyarakat tentang kemajuan tidak hanya lihai dilakukan oleh PT. Antam, namun juga kelihaian
                                   pemerintah daerah turut serta mereduksi pola pikir masyarakat. Akhirnya proses pelepasan ruang produksi masyarakat de-
                                   ngan iming-iming pola ganti rugi hingga milyaran rupiah dengan mudah luput dari pandangan serta kuasa masyarakat untuk
                                   menginterfensi bahkan mempengaruhinya. Kini, yang terlihat di Pulau Gee adalah kehancuran dan kekeringan. Sebuah pulau
                                   dengan kategori hutan lindung telah berubah menjadi pulau tambang. Pulau Gee kini pulau tandus yang hanya meninggalkan
                                   tanah dan debu tanpa ada pepohonan yang memberikan kesan rindang. Sementara, Bukit Moronopo hanya sebuah bukit
                                   yang setiap waktu setia menyuplai debu bagi masyarakat yang bermukim di bawahnya pada waktu siang dan malam. Fungsi
                                   ekologi bukit sebagai menahan abrasi dan filterisasi sumber air kini sudah tidak ada lagi, hanya menjadi ruang keruk tam-
                                   bang nikel.


                                   Ketika kami melakukan perjalanan ke Buli dan kampung-kampung di sekitar Buli, banyak masyarakat menjadi tukang batu.
                                   Berikut adalah petikan catatan  yang disampaikan oleh salah seorang perempuan dulu bekerja sebagai nelayan bersama
                                   suaminya, dan sekarang bekerja sebagai tukang batu.

                                   Namanya Ibu Rosita, umurnya 48 tahun, tapi dari wajah dan tubuhnya terlihat sekali beliau lebih tua dari umur sebenarnya.
                                   Wajahnya merangas kena terik matahari siang, ketika kami singgah di sebuah tenda yang tertutup terpal di pinggir jalan lalu
                                   lintas Mabapura – Buli. Tenda itu adalah tempat dia berteduh dari sengatan matahari di siang panas dan berdebu. Di dalam
                                   tenda terdapat rantang makanan yang hanya sedikit sisa makanan terlihat. Di sebelah rantang, ada botol plastik yang sudah
                                   kusam berisikan air minum. Ibu Rosita adalah seorang pemecah batu, suatu profesi yang sejak tahun 2003 mulai dilakukan
                                   oleh orang-orang sekitar Maba dan Buli, tepatnya, profesi ini mulai muncul sejak tambang masuk Buli, mereka memerlukan
                                   pecahan-pecahan batu ini untuk perkerasan jalan yang di buka disana-sini untuk jalur masuk alat angkut tambang.

                                         Dia adalah salah satu dari puluhan perempuan Desa Wailukum, sekitar 4 Km dari Buli yang bekerja sebagai pemecah
                                         batu. Perempuan dan ibu-ibu pemecah batu ini bisa kita temui di tepi jalan Desa Wailukum, saat perjalanan ke Maba,
                                         sentral aktifitas Pemerintahan Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Ibu Rosita tidak sendiri bekerja memecah-
                                         kan batu, namun dibantu oleh salah satu anak perempuannya. Pekerjaan itu dilakukan selama 9-10 jam sehari
                                         berdua dengan anaknya, sementara suaminya bekerja sebagai tukang tutup –buka terpal tambang nikel antam di
                                         Moronoppo.
   215   216   217   218   219   220   221   222   223   224   225