Page 225 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 225
“Tana Mera” di Dalam Teluk: 215
Pertambangan Nikel dan Penghancuran Teluk di Halmahera
Apakah sektor ekonomi keruk pertambangan ini benar-benar memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, terutama orang-
orang di pulau Halmahera? Selama ini sektor keruk ini begitu menjadi idola di hampir semua daerah di Propinsi Maluku
Utara. Bahkan, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota berlomba-lomba mendatangkan orang-orang “berduit” untuk
menanamkan investasi tambang di daerahnya. Namun hingga kini, kata kesejahteraan dan perbaikan ekonomi jarang sekali
kita temui di lokasi pertambangan. Malah, yang ada hanyalah hilangnya lahan perkebunan, alam yang tidak lagi
menyediakan kebutuhan komunitas masyarakat setempat, dan juga konflik. Apakah tuturan pasrah Ibu Rosita, “Saya karja
kasi pica batu dan jual batu ini, untuk kebutuhan makan saja, kabong so trada, jadi mau makan apa...? Cuma ini saja
yang saya bisa.”
Apa Yang Tersisa Untuk Orang-orang di Sekitar Tambang?
Pada penelitian Sajogyo Institute tahun 2012, kami pernah bercakap dengan salah seorang masyarakat di Gotowasi,
Halmahera Timur. Desa ini adalah desa terdepan yang belum dikeruk oleh perusahaan tambang nikel di wilayah Maba.
Beliau mengatakan “kalau tambang ini memang mensejahterakan orang, maka saya percaya, saudara-saudara kita di
Papua sana yang duluan kaya, tapi buktinya mana? Hingga sekarang mereka tetap melarat, bahkan dituduh sebagai orang
terbelakang”.Selain Corporate Social Responsibility yang dilakukan oleh perusahaan ANTAM dengan membangun beberapa
ruang kelas Sekolah Dasar dan memberikan beasiswa kepada sedikit orang di Maba, yang tersisa dari pengerukan itu adalah
dapatnya kesempatan bekerja bagi orang-orang Buli. Pada saat tambang ANTAM masuk ke Buli, tingkat pendidikan di Maba
masih rendah, data statisitk di Maba menunjukkan bahwa hampir 60% masyarakat hanya berpendidikan hingga Sekolah
Dasar, sementara 20 % SMP, dan sisanya sekolah menengah dan kuliah di Ternate. Tenaga kerja yang tersedia di Buli
adalah para lulusan sekolah dasar, ini menjadi alasan bagi antam untuk merekrut mereka sebagai peker kasar harian yang
di bayar Rp. 10.000/hari.
Di Desa Buli hampir 80% penduduknya berprofesi sebagai pekerja tambang harian. Bekerja sebagai pekerja tambang harian
ini, merupakan keharusan yang sudah mengakar di Desa Buli, terutama untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Berikut ungkapan seseorang di desa Buli Asal yang menilai pola perubahan prilaku dan tindakan banyak orang yang
mengalami perubahan saat masuknya pertambangan di Teluk Buli.
“Sekarang sudah banyak yang kerja di perusahaan, orang sekarang sudah tidak panen kelapa, mengelola sagu
(bahalo sagu) sekarang mereka sudah tidak tahu, itu pun hanya orang-orang tua-tua yang sering mengelola sagu”
Sisa pengerukan nikel yang lain adalah, menurunnya kualitas hidup masyarakat di sekitar tambang. Ketergantungan mereka
terhadap laut dan hutan sudah terjadi sejak dulu, yang tiba-tiba diputus oleh kedatangan tambang. Sumber-sumber maka-
nan menjadi hilang, sagu sudah habis, ikan di laut semakin tidak ada, kualitas air menurun akibat hilangnya hutan di daerah
hulu, serta kualitas udara yang berdebu akibat aktivitas pengerukan nikel yang 24 jam dalam sehari. Data dari Dinas Kese-
hatan Haltim menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penderita ISPA (Insfeksi Saluran Pernafasan Atas) di wilayah Maba
dalam 5 tahun terakhir, mereka juga mengatakan bahwa indek Partikel Molekular (PM 10) dari udara di Maba sudah
menyentuh angka di atas 500, padahal WHO menyatakan angka tertinggi hanya 300. Selain itu terjadi juga peningkatan pen-
derita kanker payudara pada wanita-wanita usia produktif di kampung-kampung sepanjang teluk Buli, dan Antam segera
memberikan CSR-nya dengan mendatangkan penyuluh “bagaimana cara mendeteksi dini kanker payudara”?