Page 230 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 230
220 Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
Megaproyek MP3EI Bekerja?
kan. Kelima, menolak hadirnya pertambangan batubara karena dianggap mengganggu dan mengancam sistem sosial dan
keberlanjutan sumber kehidupan warga.
Di Kec. Satui, Kab Tanah Bumbu warga menuntut kepada Manajemen PT Arutmin Indonesia (AI) tambang Satui agar memb-
uat jalan alternatif pengangkutan batubara dari tambang ke lokasi penumpukan karena warga menganggap aktivitas PT AI
mengganggu lalu lintas umum. Di Kotabaru misalnya ratusan warga Desa Gosong Panjang Kec. Pulau Laut Barat memper-
soalkan pencemaran debu batubara yang ditimbulkan oleh kegiatan PT Indonesia Bulk Terminal (PT. IBT). Masyarakat minta
tinjau ulang batas aman 529 meter hasil penelitian PPLH Unlam.
Ratusan warga Desa Swarangan Kec. Jorong kembali mendatangi kantor PT Jorong Barutama Greston (PT JBG). Mereka men-
desak perusahaan itu agar secepatnya memenuhi tuntutan mereka. Apa tuntutannya? Mulai merehabilitasi sekolah dasar,
penerangan listrik dan transportasi anak sekolah. Tak hanya desa Swarangan, banyak daerah yang warganya menuntut
pemberian fee atas masalah-masalah yang mereka hadapi sejak tambang masuk. Diantaranya dampak kerusakan lingkung-
an dan pengambilan lahan mereka yang dulunya telah digarap secara turun-temurun. Itu terjadi di desa Hampang, Sungai
Danau, Pulau Sebuku dan lainnya. Masyarakat yang merasa dirugikan dan tak mendapat keuntungan dari pengerukan batu-
bara ini ada juga yang memutuskan cara lain. Salah satunya dengan membuat portal-portal di jalan yang dilalui truk batuba-
ra dan menarik pungutan. Portal atau pos pungutan tersebut ada yang dikelola oleh desa- melalui aparat desa atau kesepa-
katan kampung, dan ada juga yang dikelola oleh kelompok tertentu. Tidak jarang hal ini menimbulkan konflik antara para
sopir angkutan batubara dengan para penarik pungutan tersebut.
Penggunaan beberapa ruas jalan umum untuk angkutan batubara jelas-jelas telah menggangu kepentingan masyarakat ba-
nyak. Kegiatan ini sangat menggangu pengguna jalan lainnya, menimbulkan banyak kecelakaan, kerusakan jalan dan jem-
batan yang tentunya meningkatkan biaya pemeliharaan jalan dan jembatan. Bahkan debunya telah mencemari lingkungan
sekitar sepanjang jalan yang dilewati. Disamping kerugian-kerugian yang dirasakan langsung, juga terselip bahaya yang
ditimbulkan oleh debu batubara, yang dihasilkan pada saat batubara tersebut diangkut melintas di jalan-jalan umum. Baha-
ya tersebut diantaranya Penyakit inpeksi saluran pernapasan (ISPA), yang dalam jangka panjang akan berakibat pada kan-
ker (baik itu kanker paru, lambung, darah) sampai nantinya adanya kemungkinan banyak bayi yang lahir cacat. Kebijakan
yang membolehkan angkutan batubara lewat jalan umum ini juga melanggar ketentuan Perundangan Nomor 11 tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang tidak membolehkan kegiatan pertambangan menggunakan jalan
umum dan mewajibkan perusahaan tambang memiliki sarana dan prasarana sendiri termasuk jalan untuk tambang.
Kegiatan pengangkutan batubara PT. Arutmin di wilayah Muara Sungai Satui telah menimbulkan berbagai dampak negatif
berupa abrasi pantai, pencemaran air, pencemaran debu, kebisingan dan bahkan menggangu mata pencaharian masyarakat
sekitar, para nelayan tradisional. Selain itu gangguan berasal dari kegiatan pengerukan sungai setiap tahun oleh PT. Arutmin
untuk memperlancar arus tongkang dan kapal tarik yang lewat. Kondisi inilah Hal ini diyakini masyarakat sekitar menjadi
penyebab menurunnya tingkat pendapatan mereka yang menggantungkan hidupnya di sekitar perairan sungai Muara Satui.
Mereka merasa hidup tak tenteram lagi. Dulunya penduduk Muara Satui tidak perlu bersusah payah menangkap ikan ke
tengah laut. Mereka cukup melakukannya di sungai dan sekitar muara, dengan hasil tangkapan yang cukup besar. Dulunya,
mereka bisa memperoleh penghasilan antara Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu perhari atau sekitar Rp 2 juta rupiah permusim
tangkap. Namun sejak 1997, PT. Arutmin menggunakan sungai Satui mengapalkan batubara mereka menggunakan ponton
seberat 4 ribu hingga 7 ribu ton. Sejak itulah hasil tangkap nelayan menurun drastis, mencapai Rp 30 ribu hingga Rp 100
ribu atau sekitar Rp 500 ribu – Rp 700 ribu rupiah permusim. Mereka menuduh kegiatan lalu lalang tongkang dan tagboat