Page 231 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 231
Ekonomi Keruk, Krisis Sosial-Ekologis, dan 221
Perlawanan Rakyat di Kalimantan Selatan
batubara PT. Arutmin peneybabnya. Ini disampaikan bapak Tarmiji, yang sehari-harinya lebih dikenal sebagai Uwa Temi, apa
nih artinya? Sementara untuk menangkap ikan ke tengah laut, sulit mereka lakukan karena menggunakan perahu yang ber-
ukuran kecil dan peralatan yang tidak memadai.
Selain gangguan dari lalu lalangnya angkutan batubara, kondisi Muara Satui juga diperparah air buangan limbah settling
pond pada stock pile atau daerah penimbunan barubara sebelum diangkut, yang merembes dan mengalir ke sungai, juga
cemaran dari ceceran bahan bakar minyak (solar) yang digunakan tugboat penarik tongkang batubara tersebut. Berbagai
keluhan dan keberatan disampaikan warga Muara Satui, melalui Kepala Desa maupun langsung pada pihak PT. Arutmin,
tidak mendapat tanggapan yang positif.
Akhirnya, tanggal 18 November 1999, masyarakat didampingi WALHI Kalsel melakukan unjuk rasa menutup arus transport-
asi yang dilalui ponton dan tugboat PT. Arutmin. Warga menyampaikan tuntutan mereka di hadapan pihak manajemen PT.
Arutmin Satui Mine, yang isinya antara lain menuntut PT. Arutmin untuk memberikan bantuan perahu-perahu besar bagi
warga Muara Satui dan pembuatan tanggul (siring) untuk mencegah terjadinya abrasi dinding sungai dan pantai di muara.
Namun tuntutan warga dijawab oleh PT. Arutmin dengan menawarkan community development berupa pengadaan tambak
udang atau ikan seluas 40 ha bagi 80 KK Muara Satui, setiap KK akan mendapatkan ½ ha lahan tambak, lokasi tambak yang
berjarak sekitar 2 kilometer dari pemukiman penduduk Muara Satui. Dan itu adalah kawasan hutan mangrove. Bagi warga,
merubah hutan mangrove menjadi lahan tambak tidak semudah yang dibayangkan dan ditawarkan oleh PT. Arutmin. Berda-
sarkan pengalaman mereka, butuh waktu paling tidak 5 tahun untuk menetralkan air tanah dan bekas hutan nipah dan
mangrove yang ada. Akhirnya, ada sebagian mereka tidak menerima tawaran PT. Arutmin dan tetap menutut perahu besar
dan pembuatan siring. Bagi warga yang menolak tawaran PT. Arutmin dan tetap menginginkan adanya siring, beralasan
bahwa garis tepi sungai dan pantai di muara, sejak digunakan sebagai jalur transportasi angkutan batubara telah mengalami
abrasi lebih kurang 20 meter dan bahkan sudah ada dua rumah warga yang hancur tenggelam, akibat abrasi. Dan keduanya
tak mendapat ganti rugi dari PT. Arutmin.
Gambar 2: Pelabuhan yang digunakan untuk memindahkan batubara ke kapal pengangkut.
Foto: Dian Yanuardy.