Page 79 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 79
Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa 69
Megaproyek MP3EI Bekerja?
Sumatera Utara berkontribusi penting untuk menunjukkan bahwa kehadiran proyek hilirisasi sawit melalui KEK Sei Mangkei
mesti dilihat dalam rentang sejarah panjang kehadiran perkebunan sawit di Sumatera Timur sejak masa kolonial hingga kini.
Sejak awal, kehadiran perkebunan sawit telah mengakibatkan berbagai bentuk eksploitasi dan kontrol kerja yang kejam
terhadap buruh kebun. Kondisi buruh perkebunan sawit hingga saat ini nyatanya tak berubah. Beragam jenis eksploitasi
buruh dilakukan dalam bentuk sistem kerja yang berbasis jam kerja dan basis borong disertai dengan sanksi (denda).
Pendeknya, perkebunan menerapkan sistem kerja berdasarkan jam kerja dan pencapaian target tertentu secara bersamaan.
Sistem kerja yang semacam ini membuat buruh tidak pernah bisa memenuhi target kerja dan membuatnya harus melibatkan
tenaga kerja istri dan anaknya, yang seringkali tak dibayar upahnya untuk memenuhi target. Selain itu, keselamatan kerja
dan ketidakjelasan perikatan kerja membuat kondisi buruh perkebunan kelapa sawit seperti tak pernah berubah dari masa
kolonial hingga kini.
Jika MP3EI mengandalkan konsep koridor ekonomi yang dibangun melalui pembentukan pusat-pusat dan blok-blok produksi,
pembentukan kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus, maka apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kawasan-
kawasan industri tersebut?. Riset dari Bambang T. Dahana, Abu Mufakhir dan Syarif Arifin dari Lembaga Informasi
Perburuhan Sedane (LIPS) menunjukkan kontradiksi-kontradiksi yang tajam. Pembentukan kompleks industri, utamanya di
Bekasi, dilakukan dengan cara mengubah tata guna lahan untuk pertanian menjadi untuk kawasan industri dan dimanjakan
oleh infrastruktur dan fasilitas nomer wahid: energi, air, keamanan dan berbagai fasilitas hiburan lainnya. Sementara, di
balik kisah tentang megahnya kompleks industri itu terhampar cerita tentang kondisi kaum buruh; eksploitasi kerjanya,
kondisi kehidupannya, dan gerakan perlawanannya. Sepanjang tiga tahun belakangan, gerakan buruh di Bekasi mencatatkan
peranan penting untuk mengingatkan bahwa di balik cangkang besi kompleks industri terdapat penghisapan, eksploitasi, dan
pemberangusan hak-hak buruh.
Sementara, riset tentang pertambangan nikel dan pembangunan smelter nikel di Halmahera Timur (Maluku Utara) yang
dilakukan oleh Fahruddin Maloko dari WALHI Maluku Utara dalam riset ini menunjukkan bagaimana pertambangan Maluku
Utara dilakukan dengan menghancurkan pulau-pulau kecil dan pesisir. Sebagai hasilnya, selain perampasan tanah,
pengkaplingan tanah, dan kerusakan pesisir dan laut, pertambangan nikel juga mengakibatkan terusirnya banyak dari
lahannya yang sama sekali tidak terserap dalam pekerjaan pertambangan. Ini utamanya terjadi pada kelompok perempuan.
Pembangunan smelter juga secara langsung berimplikasi pada meluasnya pengkaplingan tanah untuk dijual kepada
peruasahaan nikel.
Sementara, jika proyek-proyek MP3EI di Koridor Kalimantan banyak bertumpu pada investasi batubara, riset Dwitho
Frasetiandy dari WALHI Kalimantan Selatan menunjukkan sejarah panjang pengerukan isi perut bumi, batu bara, yang terjadi
di Kalimatan Selatan yang merupakan cerita panjang sejak zaman Belanda. Laju pengerukan ini sedikit melambat di masa
penajajahan Jepang sampai masa kekuasaan Orde Lama. Pengerukan isi bumi ini terjadi kembali dalam bentuk yang
semakin parah sejak berkuasanya rezim otoriter Orde Baru sama paska-reformasi. Semakin parahnya pengerukan juga
berarti semakin parahnya kerusakan sosial-ekologis di menyertainya. Pengrusakan sosial-ekologis yang tercipta bersamaan
dengan pengerukan isi bumi di Kalimantan Selatan ini juga melahirkan ragam perlawanan rakyat yang bermacam-macam.
Sementara riset Torry Kuswardono dari Yayasan Pikul menunjukkan bagaimana pertambangan mangan di NTT melahirkan
hubungan kuasa antara pekerja mangan dan tuan tanah yang bekerja seperti tuan tanah dan penggarap. Para penambang
bersama keluarga dan anak-anaknya bekerja menggali untuk mendapatkan 50 ribu rupiah hingga 75 ribu rupiah per hari.
Penambangan itu juga seringkali melibatkan seluruh keluarga suami istri dan anak ikut untuk mendapatkan sekitar 200 ribu