Page 20 - Transformasi Masyarakat Indonesia dan Historiografi Indonesia Modern
P. 20
Kata Pengantar Penyunting
roots in his/her community, working to maintain links with local is-
sues and struggles that connect to the people and their experiences.
(www.infed. org/thinkers/et-gram.htm). Jika sejarawan ditun-
tut agar dapat menempatkan diri secara demikian, maka kesa-
daran tentang posisionalitas (positionality) sangatlah penting.
Sebab jika tidak, dan klaim-klaim tentang obyektifitas dan keter-
jarakan terus-menerus menjadi keyakinan, maka ia akan dengan
mudah dimanipulasi oleh kekuasaan dan kelompok dominan.
While traditional intellectuals imagine themselves as an autonomous
group with an historical presence above and separate from political class
struggle, they are in fact strongly allied with the dominant ideology
and the ruling class. (ibid.) Obyektifitas, netralitas, dan keterja-
rakan itulah yang dalam pemikiran historiografi saat ini banyak
mendapat gugatan, sebab yang menjadi persoalan sebenarnya
bukanlah benar-salahnya netralitas (tidak berpihaknya) ilmu
pengetahuan, namun dalam kondisi dan suasana macam apa
klaim netralitas itu lahir, dikukuhkan, disebar-luaskan, lantas
dianut oleh kelompok tertentu. Salah satu tugas sejarah justru
adalah membongkar konteks-konteks semacam itu.
Tulisan tentang perspektif visioner itu mendahului tulisan
dengan tema dan metodologi sejarah sosial, yang mana Prof.
Dr. Djoko Suryo menjadi bagian dari pengukuhan semesta seja-
rah sosial di UGM, tentang sejarah kota, sejarah kebudayaan,
dan transformasi masyarakat Indonesia. Tidak ketinggalan pula
Prof. Dr. Djoko Suryo menyajikan tulisan tentang terorisme,
sebagai bukti keprihatinannya terhadap persoalan yang sedang
aktual.
Kami yakin bahwa tulisan-tulisan Prof. Dr. Djoko Suryo
yang tersaji dalam buku ini dapat menunaikan tugasnya dengan
baik, yakni memantik lentera diskusi dan perdebatan. Selamat
menikmati.
Yogyakarta, 15 Desember 2009
xix