Page 116 - Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris
P. 116
Sistem Tebasan, Bibit Unggul dan ...
Sampai dengan musim kering 1972, usaha penebas untuk
membatasi jumlah buruh panenan dengan cara girig membe-
rikan tanda pengenal masih mungkin dilakukan. Tetapi pada
musin hujan 1972/1973, penebas mengalami tantangan dalam
menggunakan girig. Rupanya sesudah membagi-bagikan girig,
penebas masih sulit membatasi ikut sertanya para pemotong
padi panenan itu, karena mereka yang tidak memperoleh girig
ternyata tetap memaksa dengan caranya sendiri untuk ikut
serta panen. Jelas tidak mudah mencegah mereka itu. Salah
seorang pembantu penebas mencoba melarang mereka yang
tak punya girig ikut serta panen tebasan tetapi dia segera dise-
rang oleh buruh wanita yang ada di sawah. Sejak kejadian itu,
tampaknya tidak mungkin lagi membatasi jumlah buruh panen
tebasan dengan menggunakan girig. Akan tetapi ketika kami
kembali lagi pada bulan Oktober 1973 ke desa tersebut, dan
berbicara dengan pembantu penebas itu enam bulam sesudah
peristiwa penyerangan di atas, ternyata dia berhasil menguasai
keadaan dan mempraktikkan kembali pembatasan jumlah
pemotong padi dengan menggunakan girig.
Barangkali kemampuan daya serap (absortive capacity)
dari sawah-sawah para petani di Jawa yang setiap kali harus
mempekerjakan tambahan satu orang untuk menggarapnya,
dewasa ini telah mencapai batas kejenuhan. Apabila para petani
tidak mau lagi menghormati kewajiban sosialnya yang tradi-
sional, maka suatu proses involusi pertanian desa (agricultu-
ral involution) akan mencapai titik batas akhirnya. Seperti dika-
takan Clifford Geertz:
“Wet rice cultivation, with its extraordinary ability to
maintain levels or a marginal productivity by always manag-
47