Page 24 - Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria, 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan
P. 24
Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria
menjalankan program pembaruan agraria nasional.
Perkembangan di atas kian melambungkan harapan
akan menyingsingnya “fajar kebangkitan reforma agraria”
di Indonesia memasuki Abad XXI (Fauzi 2007). Jika selama
periode Orde Baru tuntutan atas akses tanah seolah identik
dengan agenda perjuangan petani, maka tumbangnya rezim
otoriter ini pada Mei 1998, disusul dengan desakan pelak-
sanaan reformasi total di segala bidang, telah menyediakan
satu “struktur kesempatan politik” baru bagi aktor-aktor
non-negara untuk melakukan perubahan, termasuk bagi
kalangan pejuang agraria.
Berbagai kelompok gerakan rakyat pedesaan di tingkat
akar rumput berhasil memanfaatkan kesempatan politik
yang terbuka ini dengan melancarkan aksi-aksi pendudukan
dan penggarapan atas tanah-tanah yang sebelumnya meru-
pakan bagian konsesi perkebunan dan kehutanan milik
perusahaan pemerintah dan swasta. Faktor kesempatan
politik ini pula yang memungkinkan diangkutnya agenda
perjuangan akses atas tanah dan redistribusi kekayaan ke
dalam arena-arena pembuatan kebijakan publik di tingkat
lokal maupun nasional (Rachman 2012). Keluarnya TAP
MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam—yang disambut para aktivis
gerakan agraria dengan pandangan pro dan kontra itu
(Lucas & Warren 2003)—adalah salah satu contoh hasil
perjuangan aktor-aktor non-negara memanfaatkan struktur
kesempatan politik yang terbuka ini.
Dengan Joyo Winoto diangkat jadi Kepala Badan Perta-
nahan Nasional (BPN), dan menyatakan komitmennya
menjalankan reforma agraria, maka agenda yang selama
xxiii