Page 68 - (New Flip) Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
P. 68
Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Pada pukul 19.00, berita proklamasi Indonesia disiarkan untuk
pertama kalinya melalui radio. Naskah lengkap proklamasi kemerdekaan
dalam bahasa Indonesia dibacakan oleh Jusuf Ronodipuro sedangkan
terjemahannya dalam bahasa Inggris dibacakan oleh Soeprapto. Untuk
menyiasati tentara Jepang, melalui pengeras suara ke dalam ruangan
studio disiarkan warta berita resmi. Petugas keamanan di studio yang
mengawal situasi mengangguk-nganguk mendengar berita resmi.
Mereka tidak tahu bahwa yang disebarkan ke angkasa warta berita tidak
resmi, yakni berita proklamasi.
Namun, akibat pemberitaan susupan tersebut, Ronodipuro
bersama redaktur pemberitaan Bachtar Lubis ditangkap Kempetai.
Mereka disiksa secara fisik. Beruntung ketika penyiksaan dilakukan
datang Tomobachi pemimpin umum Radio Jepang. Setelah mereka
berunding, Bachtar Lubis dan Ronodipuro dilepaskan kembali, dengan
catatan agar mereka menghentikan siaran radio sama sekali. Para
pemuda justru semakin giat menyiarkan radio. Ronodipuro bersama
teman-temannya dengan dipelopori Dr. Abdulrachman Saleh
mendirikan pemancar-pemancar gelap dengan nama Radio Indonesia
Merdeka. Untuk siaran luar negeri, radio menggunakan pengenal ‗This
is the voice of free Indonesia‘ yang terletak di Gondangdia (kini gedung
48
BNI 46) dan di sekolah Kedokteran, Salemba Raya.
1.9. Pembukaan UUD 1945
Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, Hatta menerima telepon dari Tuan
Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, yang menanyakan dapatkah
Hatta menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia akan
mengemukakan sesuatu yang sangat penting bagi Indonesia. Nishiyama
sendiri akan menjadi juru bicaranya. Opsir itu datang dan mengatakan
bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik yang dikuasai Angkatan
Laut Jepang berkeberatan terhadap bagian kalimat dalam pembukaan
UUD yang berbunyi ‗ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya‘. Sang opsir menyadari bahwa kalimat
itu hanya berlaku bagi umat Islam dan tidak mengikat bagi mereka yang
non-Islam. Namun, pencantuman itu dalam Dasar Negara dianggapnya
diskriminasi terhadap golongan bhinneka tunggal ika. Menanggapi hal
itu, Hatta menyampaikan bahwa itu tidak diskriminasi sebab penetapan
itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam.
56